Allah S.W.T menurunkan syari>'at (hukum) Islam untuk mengatur
kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Secara
umum, tujuan Pencipta hukum (sya>ri') dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah
untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia seluruhnya, baik
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Tujuan hukum Islam yang berupa
perwujudan kemaslahatan tersebut pada dasarnya hendak memelihara kemaslahatan
dari lima aspek pokok (al-kulliya>t al-Khamsah) dalam kehidupan
manusia, yaitu pemeliharaan agama (Hifz ad-Di>n), jiwa (Hifz
an-Nafs), akal (Hifz al-'Aql), keturunan dan kehormatan (Hifz
an-Nasl wa al-Qard) dan harta kekayaan (Hifz al-Ma>l).
Lima
hal tersebut di atas yang secara umum hendak dipelihara oleh hukum Islam.
Memelihara dan menjaga lima hal ini akan mendatangkan maslahat, dan sebaliknya
mengabaikan dan merusak lima hal ini akan mendatangkan mafsadat. Oleh karena
itu, dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam selalu diupayakan berdasarkan
al-Qur'an sebagai sumber hukum utama dari ajaran Islam, dan didampingi oleh
hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua.
Al-Qur'a>n merupakan kitab petunjuk bagi manusia dan sebagai
rahmat bagi alam semesta. Sebagai
rujukan prinsip dasar masyarakat Islam, al-Qur'an menunjukkan bahwa pada
dasarnya seluruh umat manusia berada dalam kedudukan yang sama di hadapan hukum
Islam karena manusia diciptakan berkedudukan sama di hadapan Allah S.W.T dan
hanya ketaqwaannyalah yang dapat membedakannya
Turunnya al-Qur'a>n dan lahirnya hadis Nabi Muhammad S.A.W.
adalah sebagai langkah yang spektakuler dan revolusioner. Ia bukan saja
mengubah tatanan masyarakat Arab pada waktu itu tetapi sekaligus
mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan, serta tradisi yang
diskriminatif dan misoginis yang telah sekian lama dipraktekkan oleh masyarakat
sebelumnya.
Pada masa pra Islam, harga perempuan sangat
rendah. Mereka dianggap barang atau benda yang dapat diperlakukan sebagai apa
saja, bahkan seringkali orang menganggap bahwa melahirkan perempuan dipandang
sebagai sesuatu yang memalukan dan ditolelir jika anak perempuan tersebut
dibunuh hidup-hidup. Dalam banyak praktek
hukum, harga perempuan adalah separuh harga laki-laki. Perlakuan hukum terhadap
perempuan sangat diskriminatif. Kenyataan yang demikian pandangan yang dan
praktek-praktek misoginis dan diskriminatif oleh Islam lalu dirubah dan diganti
dengan pandangan yang adil dan manusiawi. Islam secara bertahap mengembalikan
lagi otonomi perempuan sebagai manusia merdeka.
Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga, serta sebagai upaya
untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan
syari'at Islam. Islam
mengatur kehidupan manusia berpasang-pasangan dengan melalui jenjang perkawinan
yang ketentuannya dirumuskan berdasarkan aturan-aturan tertentu dan diterapkan
untuk mewujudkan suatu kesejahteraan, baik secara perorangan maupun
bermasyarakat, serta dunia dan akhirat. Kesejahteraan orang akan tercapai
dengan terciptanya keluarga sejahtera. Demikian pula kesejahteraan perorangan
sangat ditentukan oleh kesejahteraan keluarga.
Pada dasarnya, memilih pasangan hidup yang tepat menurut ajaran
Islam adalah pilihan yang berdasar pada pertimbangan kekuatan jiwa, agama dan
akhlak. Hal ini dapat dipahami bahwa perkawinan bukanlah kesenangan duniawi
semata akan tetapi sebagai jalan untuk membina kehidupan lahir-batin serta
menjaga keselamatan agama dan nilai-nilai moral bagi anak keturunan yang
berlaku bagi kedua calon suami dan istri.
Meskipun demikian perlu dicatat bahwa Islam bukannya tidak
memberikan tempat sama sekali kepada pertimbangan faktor-faktor lain. Islam
hanya menekankan agar pertimbangan faktor agama dan akhlak dijadikan prioritas
utama di samping pertimbangan faktor-faktor lainnya. Sudah barang tentu akan
sangat ideal sekali apabila seseorang mendapatkan pasangan yang agamanya kuat,
cantik/tampan, kaya, dan memiliki keturunan yang baik.
Begitu pentingnya pernikahan maka Islam memberikan aturan-aturan
tertentu bagi keabsahannya dengan adanya rukun-rukun dan syarat-syarat
tertentu. Hal ini sangat dimaklumi mengingat pernikahan adalah sebagai
akad yang sangat kuat (mi>sa>qa>n gali>z}a) dan sakral
sebagai implementasi ketaatan hamba terhadap Allah SWT. untuk membentuk
keluarga bahagia yang kekal berdasarkan syari'at Islam.
Salah satu syari'at dan rukun dalam perkawinan adalah keberadaan
wali. Karena
setiap wali bermaksud memberikan bimbingan dan kemaslahatan terhadap orang yang
berada di bawah perwaliannya. Fuqaha' telah mengklasifikasikan wali ini
menjadi beberapa bagian, yaitu: pertama, ditinjau dari sifat kewalian
terbagi menjadi wali nasab (wali yang masih memiliki hubungan keluarga
dengan pihak wanita) dan wali hakim. Kedua, ditinjau dari keberadaannya
terbagi menjadi wali mujbir dan wali gsairu mujbir.
Dari klasifikasi di atas, wali mujbir menjadi kontroversi
di antara cendikiawan muslim. Pengertian wali mujbir dalam hal ini
adalah orang yang mendapat keistimewaan penguasaan yang diberikan syara' kepada
seseorang untuk dapat memaksakan perkawinan (menentukan pasangan) kepada orang
di bawah perwaliannya tanpa persetujuan orang tersebut, khususnya wanita,
dengan syarat-syarat tertentu.
Hukum Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat perkawinan
adalah persetujuan calon mempelai (pasal 6 ayat (1) jo. pasal 16 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam). Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan
istri ketika memasuki gerbang pernikahan dan rumah tangga benar-benar dapat
dengan senang hati membagi tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional.
Dengan cara demikianlah, tujuan perkawinan dapat tercapa. Hal ini berkaitan
sekali dengan hadis Nabi SAW. dari yang berbunyi:
ألثيب أحق بنفسها من
وليها والبكر تستأمر وإذ نها سكوتها
Dalam budaya masyarakat Islam Indonesia, masih cukup kuat anggapan
bahwa soal jodoh bagi anak laki-laki di tangan Tuhan, dan bagi anak perempuan
adalah urusan orang tua (ayah), sehingga sering kita jumpai seorang gadis yang
akan menikah sampai hari yang telah ditentukan ia belum mengenal siapa
sebenarnya calon suaminya. Pola pemaksaan perkawinan ini terutama terjadi di
kawasan orang yang berpaham legal-formalistik terhadap agama atau dipengaruhi
kultur Jawa karena malu dengan stigma-stigma yang memojokkan perempuan yang
tidak segera menikah.
Pandangan tentang dibolehkannya hak ijba>r terhadap anak
perempuannya dalam menentukan calon suami akhir-akhir ini mulai digugat oleh
para intelektual muslim. Hal ini menjadi penting untuk ditindaklanjuti agar
fiqh perempuan memperhatikan hak-hak perempuan secara proporsional atau
berparadigma gender.
Ibnu Taimiyyah memiliki reputasi intelektual dalam mazhab Hambali,
bahkan ia memiliki pemikiran yang liberal berkenaan dengan persoalan hak ijba>r.
Ibnu Taimiyyah sebagai figur sekaligus pemikir besar yang mampu berbicara pada
zamannya. Ia berbeda dengan ilmuan Ahmad Ibnu Hambal yang nota bene sebagai
pendiri mazhab Hanabilah. Ibnu Taimiyyah melampaui pemikiran kebanyakan ulama
saat itu
Menurut Ibnu Taimiyyah, hak ijba>r tidak terletak pada
kegadisan dan kejandaan, meskipun dalam hadis Muslim secara eksplisit dikatakan
janda (al-Ayyim), melainkan terletak pada unsur kedewasaannya.
Oleh karena itu, hak ijba>r wali akan hilang apabila anak yang akan
dinikahkannya sudah dewasa, baik ia masih gadis maupun sudah pernah menikah.
Sebaliknya, sekalipun ia pernah menikah tetapi belum dewasa, seorang wali masih
memiliki hak ijba>r terhadapnya
Sedangkan Ahmad Azhar Basyir sebagai seorang pemikir di bidang
pemikiran Islam yang senantiasa mewarnai khasanah intelektual pemikiran hukum
Islam di Indonesia. Penafsiran dan pemahamannya yang brilian di bidang hukum
telah membangkitkan suatu wacana baru yang berharga bagi perkembangan pemikiran
hukum Islam. Satu hal yang sangat menarik dan rasional adalah pemahaman
beliau yang menyangkut wali mujbir. Menurut beliau, wali mujbir
adalah wali yang mempunyai hak memaksa pada anak gadisnya tanpa izin gadis yang
bersangkutan. Wali mujbir dapat menggunakan hak ijba>rnya
terhadap anak gadisnya, tetapi harus memperhatikan prinsip suka rela si gadis
yang dalam perwaliannya. Oleh karena itu diperlukan beberapa persyaratan
untuk dapat menggunakan hak ijba>r terhadap anak gadisnya,
yaitu:
1.
Laki-laki pilihan wali
harus kufu' (seimbang) dengan gadis yang dinikahkan.
2.
Antara wali mujbir dengan
gadis tidak ada permusuhan.
3.
Antara gadis dengan
laki-laki calon suami tidak ada permusuhan.
4.
Calon suami harus
sanggup membayar mas kawin dengan tunai.
5.
Laki-laki pilihan wali
akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istri dengan baik dan tidak
terbayang akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan istri.
Kerangka Teoretik
Tujuan Islam diturunkan Allah S.A.W. di tengah-tengah manusia
adalah untuk menegakkan kemaslahatan. Teks al-Qur'an menggarisbawahi bahwa
syari'at Islam ditegakkan di muka bumi sebagai rahmatan lil'a>lamin,
membawa visi dan misi sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Dengan pertimbangan kemaslahatan tersebut, hukum Islam yang
terkandung di dalamnya perintah dan petunjuk untuk menjalani kehidupan di dunia
ini harus menjamin kemaslahatan manusia. Fiqh sebagai produk pemikiran manusia
senantiasa bertolak dari paradigma kemaslahatan yang universal. Dalam konteks
inilah, sekalipun Islam dikenal sebagai agama wahyu dan ajaran-ajarannya itu
merupakan firman Tuhan, Islam dengan teks al-Qur'a>n dan hadis} Nabi S.A.W.
merupakan produk sejarah dari ide dialog universalitas Tuhan dengan realitas
empirik yakni realitas sosial dan budaya yang mengitarinya.
Pada dasarnya, Fiqh merupakan kajian integral dari syari'at Islam
yang harus mengutamakan kemaslahatan secara holistik. Dalam realitas
kontemporer, fiqh dijadikan satu pijakan (legal formal) untuk menghukumi
sehingga tradisi keagamaan yang dominan adalah tradisi fiqh yang sangat
konvensional dengan produk hukumnya. Dalam kenyataan (das-sein), fiqh
seringkali melegitimasi tradisi masyarakat yang bias gender disebabkan tradisi
fiqh sangat dominan menjadikan laki-laki sebagai "subyek". Artinya
tradisi Fiqh tidak bisa lepas dari latar belakang mujtahid, segi
intelektualitas, sosial dan budaya tertentu. Karena, seandainya lepas dari
konteks sosial, mereka tidak akan relevan pada masa itu, bahkan produk
pemikiran mereka dianggap imajinasi abstrak.
Salah satu syarat perkawinan dalam Fiqh menurut jumhur ulama
adalah adanya wali. Sehingga adanya kerelaan kedua pihak antara wali mempelai
perempuan dan mempelai laki-laki (ija>b qabu>l) juga menjadi
syarat sah akad perkawinan dianalogikan dengan jual beli. Namun dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat mengenai hak menentukan pilihan apakah menjadi hak
wanita atau hak wali. Pendapat di antara fuqaha' tentang hak ijba>r
dalam menentukan pilihan terutama perbedaan pendefinisian kata secara
etimologi dan penggunaan al-Qiyas dalam wilayah ijma'.
Realitas masyarakat sekarang khususnya Indonesia, terdapat banyak
wanita yang melakukan kegiatan publik, transaksi mu'amalah, ikut menanggung
beban keluarga bahkan ikut dalam politik kenegaraan. Namun banyak orang tua
atau wali yang menjodohkan anak-anak mereka tanpa persetujuan anak tersebut
bahkan tidak jarang ada yang menjodohkan mereka ketika masih kecil (belum
dewasa). Padahal tujuan perkawinan yang sangat suci itu yang diperlukan
kesiapan jasmani maupun rohani dan kematangan jiwa agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan di tengah perjalanan kehidupan rumah tangga seperti
persengketaan, percekcokan yang berkepanjangan dan berakhir dengan perceraian.
Dengan demikian, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sangat diperlukan
demi terciptanya kemaslahatan secara umum bahkan kepentingan yang berpihak
kepada golongan. Hal ini senada dengan al-Qaidah al- Fiqhiyyah:
د رء المفاسد مقد م على
جلب المصالح
Laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam
pemilihan jodoh untuk menentukan siapa yang akan menjadi pendampingnya di masa
depan, demi keharmonisan, kebahagiaan, kesejahteraan, ketenteraman dan
ketenangan dalam kehidupan berkeluarga. Oleh karena itu, ajaran Islam memberi
tuntunan dalam menentukan pilihan.
Dalam kehidupan sekarang, hak ijba>r tidak dapat lagi
dipertahankan, apalagi hal ini bertentangan dengan prinsip kemerdekaan. Karena
pernikahan dalam Islam merupakan sebuah kontrak antara dua pasangan yang
setara maka siapapun yang menyelenggarakan pernikahan tidak dapat bertindak
melaksanakan tugasnya tanpa memastikan persetujuan pengantin perempuan dan
syarat yang ingin ditetapkannya, termasuk besar mas kawin yang ingin didapatkan
dari calon suaminya. Demikianlah akan terlihat bahwa tanpa persetujuan seorang
perempuan, dan persetujuan syarat-syarat yang dimintanya, sebuah pernikahan tidak
dapat terjadi. Jelaslah perempuan merupakan mitra sejajar dalam kesepakatan
kontrak perkawinan.
Kata ijba>r sendiri menurut arti
bahasa adalah al-Qahru (memaksa), al-Ilzamu (pemaksaan). Sedang
menurut istilah, ijba>r yaitu hak memilih dan menentukan secara
sepihak atas anak gadisnya siapa bakal suaminya. Dalam pengertian fiqh, bapak
atau kakek berhak menikahkan seorang perempuan tanpa dibutuhkan persetujuan
dari yang bersangkutan, yakni: pertama, bagi perempuan yang masih gadis.
Kedua, bagi janda yang keperawanannya hilang bukan akibat hubungan
seksual. Artinya, hilangnya keperawanan itu bukan sebab masuknya penis ke
vagina, tetapi karena jatuh, memasukkan jari dan semacamnya.
Istilah
lain dalam bahasa Arab yang juga berarti paksaan atau memaksa adalah ikrah
dan taklif. Kedua, kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan paksaan atau memaksa, dibebani atau diwajibkan mengerjakan sesuatu. Dalam al-Qur'an disebutkan:
Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.
Sedangkan mengenai taklif, al-Qur'an menyebutkan :
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum
Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami
apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum
yang kafir."
Dari segi akibat hukum, istilah ikrah dan taklif
memiliki perbedaan yang berlawanan. Memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu
dengan cara ikrah dapat dipandang sebagai sesuatu pelanggaran terhadap
hak asasi manusia. Jika perbuatan yang dipaksakan tersebut dilaksanakan, maka
perbuatan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Sebaliknya, memaksa orang lain
untuk mengerjakan sesuatu secara taklif, justru merupakan pahala, karena
termasuk dalam kategori amar makruf nahi munkar
As-Sayyid Sabiq dalam
Fiqh as-Sunnahnya mengatakan bahwa wali mujbir adalah seorang wali yang berhak
mengakadnikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya tanpa menanyakan
pendapat mereka (anak gadis) terlebih dahulu. Akadnya berlaku juga bagi orang
yang diwalikan tanpa melihat rid}a atau tidaknya
Mengenai Hak Ijabar ini, Dalam al-Qur'an tidak terdapat dalil
secara khusus atau langsung yang menunjukkan pada persoalan hak ijba>r
wali. Akan tetapi yang ditunjukkan atau dan ditekankan dalam al-qur'an adalah
kewajiban wali menikahkan perempuan. Dalam persoalan pernikahan, al-Qur'an
menyebutkan adanya larangan mempersulit pernikahan terhadap wanita.
Pada dasarnya penolakan
wali untuk mengawinkan anak perempuannya dilarang oleh agama. Al-Qur'an
menyatakan:
Apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.
itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.
Ayat
ini turun berkaitan dengan kasus seorang sahabat Nabi SAW bernama Ma'qal Bin
Yasar. Sahabat ini telah menikahkan saudara perempuannya. Tidak lama kemudian
suaminya menceraikannya hingga habis iddahnya. Bekas suami ini kemudian
bermaksud menikahinya kembali. Mendengar hal ini, Ma'qal marah, ia bersumpah
tidak akan menikahkannya.
Dari kasus ini dapat dipahami bahwa andaikata saja perempuan
tersebut boleh menikahkan dirinya kepada bekas suaminya itu, niscaya ayat
tersebut tidak diturunkan. Bahkan Ma'qil diperintahkan oleh Nabi SAW untuk
membayar denda sebagai hukuman atau sumpahnya (kifarat).
Inti ayat di atas
mengungkapkan bahwa siapapun (termasuk wali) tidak boleh menghalangi pernikahan
seorang wanita untuk menikah dengan pilihannya.
Beberapa kesimpulan
penafsiran terhadap ayat diatas diantaranya adalah:
1. Khitab ditunjukkan
kepada wali (bapak, kakek, saudara laki-laki) untuk tidak menolak wanita yang
ada di bawah perwaliannya. Dalam hak ini, jelas bahwa eksistensi wali nikah
pada masa Nabi Muhammad SAW. memang ada. Sehingga perkawinan tanpa adanya wali
tidak dibenarkan.
2. Khitab ayat tersebut
ditunjukkan dan diperuntukkan kepada masyarakat umum.
3. Tidak diperbolehkan
memaksakan pernikahan serta enggan menikahkan.
4. Secara eksplisit
membolehkan wanita untuk menikahkan dirinya sendiri dan tidak seorangpun boleh
menolaknya dengan alasan adanya kebaikan di masa depannya.
Dari zahir ayat di atas
menunjukkan bahwa seorang wali tidak boleh semena-mena mempergunakan haknya
terhadap wanita yang ada di bawah perwaliannya.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut ada beberapa hadis yang
relevan dengan larangan terhadap wali yang memaksakan kehendak terhadap anak gadisnya
diantaranya adalah hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh jama’ah ahli
hadis:
قالو رسول الله صلهم, لا
تنكح الاًيم حتى تستاًمر ولا البكر حتى تستاًذن, قالو: يا رسول الله وكيف اذنها؟
قال: اًن تسكت.
Dalam hadis Abu Hurairah tersebut terdapat pengertian
yang berupa larangan Rasulullah SAW. untuk menikahkan gadis tanpa izinnya,
sebagaimana beliau melarang menikahkan janda tanpa perintahnya. Hadis tersebut
menetapkan bahwa sahnya akad nikah digantungkan pada persetujuan wanita.
Persetujuan tersebut jika dari janda adalah dengan perintahnya, dan jika gadis
adalah dengan diamnya. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan antara gadis dengan
janda adalah pada cara menyatakan persetujuannya. Dengan demikian, meminta
persetujuan atau izin itu wajib hukumnya bagi wali.
Dalam hadis lain
Rasulullah SAW. bersabda, hadis Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad Abu Dawud,
Ibnu Majah, dan Daruqutni:
اًن جارية بكرا اًتت رسول
الله صلعم فذكرت اًنّ اًباها زوّجها وهي كارهة فخيّرها النبيّ صلعم
Adapun dasar kebolehannya
bapak menikahkan perempuan tanpa izin dari perempuannya yang bersangkutan
adalah hadis dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
ألثيب أحق بنفسها من
وليها والبكر تستأمر فى نفسها وإذ نها صماتها
Hadis ini menunjukkan bahwa adanya pengklasifikasian dan perbedaan
antara gadis dan janda. Kekuasaan bapak selaku wali terhadap golongan tersebut
tidak sama, sebagaimana kandungan dari teks hadis tersebut, yakni janda lebih
berhak atas dirinya dari pada walinya. Mafhu>m Mukha>lafahnya
bahwa bapak lebih berhak terhadap anak gadisnya. Mafhu>m mukha>lafah ini
diperkuat oleh mantuq hadis Ibn Abbas:
الثيّب اًحق بنفسها من
وليها والبكر يزوًجها اًبوها
Hadis lain dari Khansa’
binti Khidam yang diriwayatkan oleh jama’ah ahli hadis kecuali Muslim:
عن خنساء بنت خدام
الاًنصارية اًنّ اًباها يزوّجها وهي ثيّب فكرهت ذلك فاًتت رسول الله صلعم فردّ
نكاحها
Perawi hadis mengatakan
bahwa kalimat “sedangkan ia janda” merupakan suatu isyarat yang menunjukkan ‘illat
atau sebab dari penolakan Rasul. Hal itu mengutarakan bahwa jika ia masih gadis
tentulah pernikahannya tidak ditolak oleh Rasul.
Adapun dasar hukum
tentang pentingnya wali dalam suatu perkawinan antara lain adalah firman Allah
SWT. yang berbunyi:
dan kawinkanlah orang-orang
yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Dalam
ayat yang lain, Allah SWT. juga berfirman:
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Dalam kaitan ini Rasulullah
SAW. bersabda:
أيما أمرأة نكحت بغير إذ
ن وليها فنكاحها باطل ثلاث مرات, فإذا د خل بها فالسلطان ولي من لا ولي له
Dalam
hadis} yang lain Rasulullah SAW. bersabda:
لا نكاح إلا بولي
Dari
kedua ayat al-Qur'an dan hadits di atas memberikan suatu gambaran akan
pentingnya wali dalam perkawinan. Hal ini ditandai dengan penegasan Rasulullah
yang mengatakan bahwa suatu perkawinan tanpa wali dianggap tidak sah atau
dengan kata lain perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Dari nas kedua
ayat di atas khususnya tampak jelas ditujukan pada wali agar menikahkan
perempuan yang tidak bersuami dan orang-orang yang tidak beristri di satu
pihak, dan melarang wali menikahkan laki-laki muslim dengan wanita non muslim.
Sebaliknya, wali dilarang menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non muslim
sebelum mereka beriman di lain pihak
Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa
kedudukan wali dalam perkawinan sangatlah penting di satu sisi, di sisi yang
lain diharapkan agar wali tidak berlebihan dalam menjalankan perannya sebagai
wali dengan tidak melampaui batas-batas hak yang dimiliki anak gadisnya. Dalam
konteks ini memaksakan kehendaknya kepada anak gadisnya dengan mengawinkan
kepada laki-laki yang tidak dikehendakinya.
Dalam fiqh, seorang perempuan yang masih
perawan yang akan dinikahkan cukup dimintai izinnya. Sebagai salah satu bentuk
persetujuan izin tersebut adalah "diam". Tetapi, di samping itu orang
tua, terutama bapak dan kakek memiliki hak istimewa untuk memaksa menentukan
pilihan pasangan hidupnya. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman
terhadap apa yang dikenal dengan hak ijba>r. Hak ijba>r oleh
banyak orang dipahami sebagai hak bagi wali (bapak atau kakek) untuk
menjodohkan anak atau cucu perempuan. Hal ini menimbulkan asumsi umum bahwa
Islam membenarkan kawin paksa.
Pada dasarnya, pandangan tentang ijba>r antara yang
menerima atau menolak ijba>r bertemu pada satu muara yaitu demi
kemaslahatan gadis. Mereka yang mendukung ijba>r dengan alasan
kebaikan (maslahah) wanita, sedangkan mereka yang menolak dengan tujuan
agar hak wanita itu dikesampingkan dan memberikan kemaslahatan kepada wanita
untuk menentukan pilihan sendiri. Kendati demikian, sebuah perbuatan beresiko
tersebut seringkali tidak sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan bahkan menjadi
bumerang bagi keluarga pihak wanita. Perkawinan yang dilakukan wali tanpa izin
dan persetujuan wanita beresiko terhadap ketidakharmonisan dan kurang matang
dan tanggung jawab.
Oleh karena itu, sebelum perkawinan dianjurkan untuk mengadakan
peminangan (khit}bah) agar calon mempelai saling mengenal (ta’aruf),
mencari kesesuaian dan suka sama suka (tara>din) untuk melakukan
perkawinan. Hal inilah yang membedakan harkat dan martabat manusia dengan
kelangsungan hidup makhluk lain. Akan tetapi, fenomena hukum Islam mengakui
keterlibatan orang tua (wali) yang cukup berpengaruh dalam eksistensi akad
perkawinan. Imam asy-Syafi’i mengakui keterlibatan wali dalam perkawinan,
bahkan bapak (wali mujbir) mempunyai hak untuk mengawinkan wanita (orang
yang di bawah perwaliannya) dengan pilihan walinya tanpa izin dan persetujuan
wanita terlebih dahulu. Izin dan persetujuan untuk melakukan perkawinan wanita
tersebut diberikan kepada wali mujbir.
Berbeda dengan hal itu, pada dasarnya, menurut Ibn Taimiyyah dan
Ahmad Azhar Basyir wali mujbir tidak boleh mengawinkan wanita baik gadis
maupun janda yang sudah dewasa tanpa persetujuannya. Meminta izin dan
persetujuan kepada gadis maupun janda yang sudah dewasa adalah sebuah keharusan
yang tidak bisa ditawar lagi oleh siapapun. Apabila akad perkawinan tetap
dilakukan tanpa peretujuan mereka, maka akad perkawinan menjadi fasid
(batal) dan harus dilakukan fasakh.
Yang melatarbelakangi persamaan pendapat antara Ibn Taimiyah
dengan Ahmad Azhar Basyir diantaranya adalah dalam melakukan ijtihad (dalam
bidang fiqh) kedua-duanya menempatkan al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber pokok
pertama dan kedua bagi hukum Islam, kemudian diikuti dengan ijma’(yang
bersandar kepada al-Qur’an dan hadis) sebagai dasar yang ketiga. Kendati
demikian, Ibn Taimiyah sebagai ulama’ yang berada dilingkungan mazhab Imam
Ahmad Bin Hambal lebih jauh pandangannya terhadap hak ijba>r
ketimbang ulama’ lainnya di lingkungan ulama’ mazhab. Muh. Zuhri dalam
kesempatan tulisannya menyatakan bahwa sekalipun Ibn Taimiyah termasuk salah
seorang ulama’ yang berpandangan liberal berkenaan dengan penolakannya terhadap
hak ijba>r, Ibn Taimiyah dalam di siplin ilmu filsafat dan kalam
tergolong konservative, artinya dalam menafsirkan teks-teks keagamaan yang
berhubungan dengan wilayah filsafat dan kalam cenderung tekstual dan dalam
memahami teks hadis mengenai hak ijba>r menangkap artinya secara
manusiawi.
Secara metodologis, pemikiran Ibn Taimiyah tidak dapat dilepaskan
dari peran beliau dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Seperti halnya telah
disinggung di atas, dalam masalah fiqh IbnTaimiyah terbolong sebagai ulama’
yang liberal. Pandangannya yang bersifat furu’ atau hukum-hukum cabang,
Ibn Taimiyah menggunakan nalar analogi (Qiyas). Sistem nalar inilah yang
kemudian perkembangannya sangat berpengaruh dalam berbagai pandangannya. Nalar
analogi atau disebut juga dengan istilah Qiyas, yang digunakan Ibn
Taimiyah dalam istimbat hukum yaitu dengan mencari ta’lil al-ahkam,
yakni indikasi-indikasi yang mengarah pada hukum asal dengan pertimbangan
rasional.
Dalam kitabnya ar-Radd ‘ala> Mantiqiyyin, Ibn Timiyah
menekankan Qiyas sebagai metode berpikir kritis, apapun persoalannya dalam
Islam itu harus dikembalikan kepada al-Qur’an dan hadis.
Sistem analogi yang dipegang Ibn Taimiyah yang pada perkembangannya
juga berpengaruh pada pemahamannya tentang hak ijbar, Ibn Taimiyah menempatkan
Qiyas sebagai pisau analogi hukum.
Ibn Taimiyah membedakan ijba>r secara terminologis,
menurutnya ijba>r itu lebih diartikan sebagai hak memilih yang
diperkenankan kepada siapapun, termasuk orang tua atau wali untuk mengusulkan
calon suami kepada anak perempuannya baik janda maupun gadis.
Pernyataan tersebut nampak ketika Ibn Taimiyah bahwa hak ijba>r
sebenarnya tidak ada dalam fiqh munakahat. Tetapi dalam kelanjutannya beliau
pun masih toleran dengan memberikan batasan-batasan orang tua atau walinya
dalam memberikan saran dan masukan berkenaan dengan calon suaminya kelak.
Sebagaimana Ibn Timiyah, Ahmad Azhar Basyir dalam berijtihad
(dalam bidang fiqh) juga menekankan penggunaan dalil-dalil ijtihad semisal
Qiyas, maslahah, dan lai-lain manakala suatu persoalan yang status hukumnya
tidak ditemukan dalam al-Qur’an, hadis serta ijma’ Sahabat yang bersandar
kepada al-Qur’an dan hadis.
Pandangan Ibn Taimiyah dan Ahmad Azhar Basyir
terhadap cara pengambilan persetujuan wanita terutama gadis berdasarkan diamnya
sebagai tanda penyampaian gadis karena gadis diidentikkan seringkali malu dan
dianggap tabu untuk mengutarakan kehendak hatinya, berbeda dengan janda yang
dianggap lebih berani dan lebih berhak terhadap dirinya sehingga persetujuannya
harus diambil dengan ucapan yang jelas (oralis), tidak cukup dengan diam
yang disimpulkan sebagai penerimaan ataupun penolakan seorang janda.
Pentingnya izin dari si gadis bagi wali yang
akan menikahkan gadisnya dengan laki-laki pilihan wali tersebut, tentunya akan
menimbulkan suatu kemaslahatan dan sikap yang saling rela serta ikhlas dalam
membentuk suatu rumah tangga. Sebab perkawinan merupakan akad atau perikatan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan keluarga yang kekal dan bahagia yang diliputi rasa ketentraman serta
rasa kasih sayang dengan cara yang diridai Allah SWT.
Terlepas dari itu, memaksakan kehendak yang
dilakukan oleh si wali terhadap anak gadisnya diperbolehkan oleh Ahmad Azhar
Basyir bahkan hukum Islam sepanjang pemaksaan kehendaknya itu dapat membawa
kemaslahatan bagi si gadis dalam membentuk suatu rumah tangga, sehingga tujuan
perkawinan dapat tercapai.
Dalam masalah ijba>r, mereka tidak
menggunakan semua dalil dari hadis Nabi Muhammad SAW. mengenai keharusan
meminta persetujuan (isti’ma>r) wanita yang masih gadis dan janda
dalam perkawinan. Mereka hanya menggunakan hadis tentang perintah meminta
persetujuan (isti’ma>r) wanita yang sudah janda dan yatimah dan
anjuran meminta izin (isti’za>n) terhadap gadis sehingga perbuatan
wali untuk meminta persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan melainkan pilihan
(ikhtiyar) dan anjuran, berbeda dengan wanita yang sudah mendapat status
janda.
Adapun dalil yang menjadi
pegangan Ibn Taimiyyah antara lain adalah sebagai berikut:
لاتنكح البكر حتى تستاًذن
ولاالثيب حتى تستاًمر فقيل له: ان البكر تستحيى؟ فقال: اذنها صماتها وفي لفظ قي
الصحيح البكر يستاًذنها اًبوها
Sedangkan dalil yang
menjadi pegangan Ahmad Azhar Basyir adalah:
ااًن جارية بكرا اًتت
النبي صلى الله عليه و سلم فذكرت اًن اًباها زوجها وهي كارهة فخيرها النبي صلى
الله عليه وسلم
Ahmad Azhar Basyir juga beralasan dengan pertimbangan rasio bahwa bapak tidak
mempunyai hak terhadap kekayaan anaknya yang telah dewasa, maka demikian pula
terhadap urusan pernikahan yang tujuan utamanya adalah hubungan sex di mana
bapak tidak mempunyai kepentingan. Oleh karena itu bapak tidak pantas apabila
mencampuri urusannya.
Produk pemikiran Ibn Taimiyah dan Ahmad Azhar Basyir dalam masalah
ijba>r di atas berkaitan dengan ijtihad mereka yang cenderung
normatif-deduktif (istinbat), menempatkan teks al-Qur’an dan as-Sunnah
sebagai titik berangkat awal dalam satu analisa persoalan hukum. Model
pendekatan ini cenderung didominasi oleh Aristetalian Logic yang
bercirikan dichotomous logic. Dengan demikian, suatu masalah hukum
cenderung dilihat secara benar-salah, hitam-putih dan Halal-haram sehingga
pemikiran tersebut pada perkembangan selanjutnya menjadi bersifat sempit, kaku
dan menolak nuansa di luar dua kutub ekstrem tersebut. Oleh karena itu, Fuqaha
pada masa modern banyak menawarkan model pemikiran dengan kolaborasi antara
pendekatan normatif-deduktif dan pendekatan empiris induktif (istiqra’).
Pendekatan model kedua ini menunjukkan gejala yang beda jika tidak
bertentangan.ia lebih bercirikan hegelian logic yang mana kebenaran
bersifat relatif dan dipengaruhi oleh asumsi-asumsi dasar yang dianut serta
dialektika sosial yang terjadi. Dengan demikian hasil ketentuan model
pendekatan ini bersifat luwes, fleksibel, inklusif serta dipandang mengikuti denyut
jantung dan perkembangan masyarakat dengan tetap berlandaskan pada
prinsip-prinsip yang ada.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ibn
Taimiyyah dan Ahmad Azhar Basyir mempunyai kesamaan dalam masalah hak ijba>r
wali nikah. Terlepas dari itu, wali mujbir dalam pandangan Ahmad Azhar
Basyir adalah wali yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya untuk dinikahkan
dengan laki-laki tanpa izin gadis yang bersangkutan. Wali mujbir yang
mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuannya harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
- Laki-laki pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang dikawinkan
- Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan gadis
- Tidak ada permusuhan antara gadis dengan laki-laki calon suami
- Calon suami harus sanggup membayar maskawin dengan tunai
- Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istri dengan baik, dan tidak dikhawatirkan akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan istri
Sedangkan mengenai gadis kecil atau belum dewasa dan janda yang
belum dewasa terdapat perbedaan di antara mereka. Ibn Taimiyyah membolehkan ijba>r
terhadap wanita yang belum dewasa baik gadis maupun janda berdasarkan dalil
kitab atau mafhum mukhalafah hadis Abu Hurairah tentang larangan mengawinkan
yatimah tanpa izin dan persetujuannya, sehigga wali mujbir dapat mengawinkan
(ijba>r) terhadap wanita selain yatimah termasuk janda kecil atau belum
dewasa. Tindakan meminta izin dan persetujuan hanya berlaku untuk wali terhadap
wanita yang sudah dewasa, bukan anak kecil. Segala urusan anak kecil (hak
milik) ada pada walinya termasuk perkawinan janda yang belum dewasa. Selain itu
pendapat Ibn Taimiyyah diatas juga berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW dari
Ibnu 'Abbas.
Menurut Ibn Taimiyyah, manat al-ijba>r pada hadis
tersebut tidak terletak pada kegadisan atau kejandaan, meskipun dalam hadis
tersebut secara eksplisit dikatakan janda (al-ayyim), tetapi pada
kedewasaaan. Oleh karena itu, hak ijba>r wali akan hilang apabila
anak yang akan dinikahkannya sudah dewasa, baik ia gadis maupun janda.
Sebaliknya, sekalipun ia janda tetapi belum dewasa maka wali masih memiliki hak
ijba>r terhadapnya. Kata al-ayyim dalam hadis Nabi Muhammad
dari Ibnu Abbas oleh Ibn taimiyyah tidak dipahami secara tekstual. Beliau
memahaminya sebagai kedewasaan berpikir (rusydah).
Ahmad Azhar Basyir dalam mengklasifikasikan janda (sayyib)
secara umum, mencakup janda kecil dan janda dewasa. Sehingga wali tidak boleh
mengawinkan janda kecil sehingga ia dewasa karena izin dan persetujuan anak
kecil tidak dianggap berlaku sedangkan statusnya sudah janda.
Dari beberapa persamaan dan perbedaan argumentasi yang ada, antara
Ibnu Taimiyah dan Ahmad Azhar Basyir tentang ijba>r, ada satu titik
simpul yang bisa disamakan atau dipadukan antara keduanya sebagai satu kesatuan
pendapat yang melingkupi pendapatnya masing-masing. Yaitu bahwa, baik yang
membolehkan maupun yang tidak memperbolehkan ijba>r semuanya bermuara
kepada kemaslahatan manusia. Kendati Ahmad Azhar Basyir secara tidak langsung
memperbolehkan pernikahan anak di bawah umur, namun hal itu dengan catatan
tidak adanya madarat yang akan ditimbulkan dari perkawinan tersebut. Sebaliknya
kalau ada madarat atau dimungkinkan adanya madarat yang akan terjadi, dengan satu
misal membahayakan bagi kedua belah pihak, maka antara kedua belah pihak boleh
meminta dirusakkan perkawinannya
Hak Ijba>r Dengan Kondisi
Masyarakat Indonesia Sekarang.
Dalam masyarakat Islam
Indonesia kuat anggapannya bahwa soal jodoh bagi anak laki-laki adalah urusan
Tuhan dan bagi anak perempuan adalah urusan orang tua atau ayah. Karena bagi
mereka adalah bahwa hak menikahkan anak gadis itu ada pada wali yang dalam
agama Islam disebut wali mujbir.
Akan tetapi di zaman sekarang ini kekuasaan wali mujbir
mulai memudar, tidak sedikit anak perempuan yang berani menentukan sendiri
calon suaminya. Bahkan ada yang mengambil jalan pintas seperti kawin lari
karena tidak disetujui oleh orang tuanya. Malah ada yang sampai bunuh diri atau
pergi dari rumah karena dipaksa oleh orang tuanya untuk menikah dengan
laki-laki yang tidak disukainya. Maka jelaslah bahwa nikah paksa itu dapat
menimbulkan dampak negatif.
Nikah yang dipaksakan oleh orang tua terhadap anak perempuannya
akan menyebabkan akibat yang tidak baik, sebab jiwa seseorang itu tumbuh dan
berkembang dari pengalaman, dan pengalaman yang pahit maupun manis akan selalu
berada dalam perasaannya. Apabila ia dipaksa untuk menikah, maka hal itu
merupakan kenangan pahit yang akan selalu berada dalam jiwanya.
Ada dua akibat yang dapat ditimbulkan dari adanya paksaan, yaitu
menentang dan menerima dengan bersikap masa bodoh. Pada akibat yang pertama
yaitu menentang dapat menimbulkan sifat kelaki-lakian yakni ingin menguasai
lain jenis, yang merupakan ungkapan tidak puas terhadap ayahnya yang kemudian
dilampiaskan kepada suaminya karena mereka sama-sama laki-laki. Istri semacam
ini cenderung untuk membeberkan kekurangan-kekurangan suaminya, maka ia sering
mengkritik kesalahan-kesalahan suaminya baik patut maupun tidak patut.
Akibat ini ditimbulkan karena adanya penolakan dari sikap otoriter
orang tuanya dalam memaksakan kehendaknya, sehingga ia berjuang untuk mencari
pengaruh antara ia dan orang tuanya, karena menghadapi orang tuanya dan tidak
berani untuk menolaknya. Maka keinginan itu dilampiaskan kepada suaminya,
karena suaminya dianggap sebagai penyebab keotoriteran orang tuanya. Ia tidak
sanggup menciptakan hubungan emosional dengan suaminya yang menyebabkan
buruknya hubungan antara mereka.
Dan rusaklah keharmonisan rumah tangga mereka.
Adapun yang kedua yakni menerima dengan masa bodoh, yang kemudian
hal ini menjalar pula dalam sikapnya dalam membina rumah tangga. Sikap tersebut
disebabkan ia merasa tidak berkepentingan terhadap pernikahannya. Istri yang
tidak memperhatikan suami, maka ia tidak akan mengerti juga kesulitan suaminya.
Hal ini dapat menyebabkan suami akan mencari pengaduan di luar istrinya
sehingga satu sama lain tidak saling memperhatikan.
Suami atau istri yang tidak saling memperhatikan menimbulkan
hubungan suami istri menjadi dingin, maka hubungan mereka tidak serasi lagi dan
tidak akan bisa menciptakan suasana rumah tangga yang sejahtera, jauh dari
kasih sayang dan menimbulkan kebencian antara keduanya.
Upaya menghindari perbuatan dan tindakan yang mungkin menyebabkan
hilangnya rasa kasih sayang itu, maka ketentuan agama harus dipatuhi agar
tujuan pernikahan dapat terpenuhi,
Akibat lain dari adanya nikah paksa adalah tidak adanya
keterikatan kepada keluarga yang disebabkan oleh sikap masa bodohnya atas
pernikahannya. Suatu masalah yang seringkali menyebabkan rumitnya permasalahan
dalam rumah tangga adalah terlalu terikatnya suami atau istri kepada ibu atau
anggota keluarga yang lain. Setiap kali mengalami kesulitan dalam rumah
tangganya ia segera lari kepada ibu atau bapaknya. Sikap yang demikian
menandakan ketidakmatangan emosional atau dapat juga dikatakan istri tersebut
mempunyai sifat kekanak-kanakan atau manja yang tidak pada tempatnya.
Rumah tangga semacam ini sering retak dan berantakan karena
terlalu patuhnya istri kepada bapak ibunya, di mana kehidupan rumah tangganya
selalu diatur oleh orang tuanya. Perempuan yang seperti ini tidak mampu
mengendalikan rumah tangganya, tidak bisa mengambil keputusan tentang sesuatu
dan selalu bergantung pada orang tuanya atau suaminya.
Hal-hal yang merupakan akibat nikah paksa yang telah penyusun
paparkan tersebut kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, sebagaimana
kemungkinan tercapainya rumah tangga yang harmonis apabila calon suami itu
pilihan perempuan sendiri.
Di dalam Islam tidak diatur tentang usia pernikahan bagi
perempuan, bahkan Nabi Muhammad SAW. menikah dengan 'Aisyah ketika 'Aisyah
masih berumur sembilan tahun. Akan tetapi akan dijelaskan bahwa tujuan dari
perkawinan yang membentuk suatu rumah tangga adalah kesejahteraan, yang disebut
dengan "mawaddah wa rahmah”.
Kesejahteraan dan kebahagiaan yang dikehendaki dari ayat ini tidak
akan tercapai apabila pernikahan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
yang masih kecil, yang belum mengetahui dan paham tentang urusan agama dan
belum matang jiwanya.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal pernikahan
anak kecil sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT.
dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Apabila anak kecil boleh menikah sebelum dewasa maka ayat ini
tidak ada gunanya, sebab anak kecil itu belum perlu menikah karena tujuan
pernikahan adalah untuk pelepasan syahwat dam untuk memperoleh keturunan
sedangkan mereka belum mampu melaksanakannya. Menurut ulama' empat Mazhab bahwa
anak gadis di bawah umur yang dinikahkan oleh ayah atau kakeknya tidak
mempunyai hak pilih setelah dewasa. Menurut Abu Hanifah apabila dinikahkan oleh
wali selain ayah dan kakeknya maka ada hak pilih untuk menerima atau menolak
ikatan pernikahannya setelah ia dewasa. Akan tetapi pandangan mereka hanya
didasarkan pada dugaan saja dan kurang mengandung perintah Allah SWT. dan
RasulNya.
Menurt hadis sahih dari Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan bahwa
beliau telah menikahkan anak Hamzah yang masih di bawah umur dengan Amar bin
Abi Salmah dan beliau mengatakan bahwa mereka berhak menerima atau menolak
pernikahan tersebut bila ia sudah dewasa. Hal ini menjelaskan bahwa adanya hak
bagi mereka untuk melaksanakan haknya bila ia telah mencapai usia dewasa. Dan
beliau juga menjelaskan bahwa karena beliau hanyalah sepupunya dan bukan ayah
dari anak perempuan itu maka pernikahan tersebut tidak mengikat bagi anak
perempuan itu.
Maka pernikahan hendaknya hanya dilangsungkan setelah
masing-masing mencapai taraf kematangan baik secara fisik-biologis maupun
mental-psikologis. Untuk semua Negara termasuk Negara-negara Islam dewasa ini
telah mengundangkan ketentuan batasan minimal usia nikah. Sebagaimana di
Indonesia telah di atur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
Wallahu ‘alam