Selamat Datang di Blog Langit Biru Pembaharu, semoga Kunjungan Anda Bermanfaat

HAK IJBAR, Analisis pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ahmad Azhar Basyir


Allah S.W.T menurunkan syari>'at (hukum) Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Secara umum, tujuan Pencipta hukum (sya>ri') dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia seluruhnya, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Tujuan hukum Islam yang berupa perwujudan kemaslahatan tersebut pada dasarnya hendak memelihara kemaslahatan dari lima aspek pokok (al-kulliya>t al-Khamsah) dalam kehidupan manusia, yaitu pemeliharaan agama (Hifz ad-Di>n), jiwa (Hifz an-Nafs), akal (Hifz al-'Aql), keturunan dan kehormatan (Hifz an-Nasl wa al-Qard) dan harta kekayaan (Hifz al-Ma>l). 
 Lima hal tersebut di atas yang secara umum hendak dipelihara oleh hukum Islam. Memelihara dan menjaga lima hal ini akan mendatangkan maslahat, dan sebaliknya mengabaikan dan merusak lima hal ini akan mendatangkan mafsadat. Oleh karena itu, dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam selalu diupayakan berdasarkan al-Qur'an sebagai sumber hukum utama dari ajaran Islam, dan didampingi oleh hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua.
Al-Qur'a>n merupakan kitab petunjuk bagi manusia dan sebagai rahmat bagi alam semesta. Sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam, al-Qur'an menunjukkan bahwa pada dasarnya seluruh umat manusia berada dalam kedudukan yang sama di hadapan hukum Islam karena manusia diciptakan berkedudukan sama di hadapan Allah S.W.T dan hanya ketaqwaannyalah yang dapat membedakannya 
Turunnya al-Qur'a>n dan lahirnya hadis Nabi Muhammad S.A.W. adalah sebagai langkah yang spektakuler dan revolusioner. Ia bukan saja mengubah tatanan masyarakat Arab pada waktu itu tetapi sekaligus mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan,  serta tradisi yang diskriminatif dan misoginis yang telah sekian lama dipraktekkan oleh masyarakat sebelumnya.
Pada masa pra Islam, harga perempuan sangat rendah. Mereka dianggap barang atau benda yang dapat diperlakukan sebagai apa saja, bahkan seringkali orang menganggap bahwa melahirkan perempuan dipandang sebagai sesuatu yang memalukan dan ditolelir jika anak perempuan tersebut dibunuh hidup-hidup. Dalam banyak praktek hukum, harga perempuan adalah separuh harga laki-laki. Perlakuan hukum terhadap perempuan sangat diskriminatif. Kenyataan yang demikian pandangan yang dan praktek-praktek misoginis dan diskriminatif oleh Islam lalu dirubah dan diganti dengan pandangan yang adil dan manusiawi. Islam secara bertahap mengembalikan lagi otonomi perempuan sebagai manusia merdeka.
Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga, serta sebagai upaya untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syari'at Islam. Islam mengatur kehidupan manusia berpasang-pasangan dengan melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan berdasarkan aturan-aturan tertentu dan diterapkan untuk mewujudkan suatu kesejahteraan, baik secara perorangan maupun bermasyarakat, serta dunia dan akhirat. Kesejahteraan orang akan tercapai dengan terciptanya keluarga sejahtera. Demikian pula kesejahteraan perorangan sangat ditentukan oleh kesejahteraan keluarga.
Pada dasarnya, memilih pasangan hidup yang tepat menurut ajaran Islam adalah pilihan yang berdasar pada pertimbangan kekuatan jiwa, agama dan akhlak. Hal ini dapat dipahami bahwa perkawinan bukanlah kesenangan duniawi semata akan tetapi sebagai jalan untuk membina kehidupan lahir-batin serta menjaga keselamatan agama dan nilai-nilai moral bagi anak keturunan yang berlaku bagi kedua calon suami dan istri.
Meskipun demikian perlu dicatat bahwa Islam bukannya tidak memberikan tempat sama sekali kepada pertimbangan faktor-faktor lain. Islam hanya menekankan agar pertimbangan faktor agama dan akhlak dijadikan prioritas utama di samping pertimbangan faktor-faktor lainnya. Sudah barang tentu akan sangat ideal sekali apabila seseorang mendapatkan pasangan yang agamanya kuat, cantik/tampan, kaya, dan memiliki keturunan yang baik.
Begitu pentingnya pernikahan maka Islam memberikan aturan-aturan tertentu bagi keabsahannya dengan adanya rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu. Hal ini sangat dimaklumi mengingat pernikahan adalah sebagai akad  yang sangat kuat (mi>sa>qa>n gali>z}a) dan sakral sebagai implementasi ketaatan hamba terhadap Allah SWT. untuk membentuk keluarga bahagia yang kekal berdasarkan syari'at Islam.
Salah satu syari'at dan rukun dalam perkawinan adalah keberadaan wali. Karena setiap wali bermaksud memberikan bimbingan dan kemaslahatan terhadap orang yang berada di bawah perwaliannya. Fuqaha' telah mengklasifikasikan wali ini menjadi beberapa bagian, yaitu: pertama, ditinjau dari sifat kewalian terbagi menjadi wali nasab (wali yang masih memiliki hubungan keluarga dengan pihak wanita) dan wali hakim. Kedua, ditinjau dari keberadaannya terbagi menjadi wali mujbir dan wali gsairu mujbir.
Dari klasifikasi di atas, wali mujbir menjadi kontroversi di antara cendikiawan muslim. Pengertian wali mujbir dalam hal ini adalah orang yang mendapat keistimewaan penguasaan yang diberikan syara' kepada seseorang untuk dapat memaksakan perkawinan (menentukan pasangan) kepada orang di bawah perwaliannya tanpa persetujuan orang tersebut, khususnya wanita, dengan syarat-syarat tertentu.
Hukum Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan calon mempelai (pasal 6 ayat (1) jo. pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam). Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan istri ketika memasuki gerbang pernikahan dan rumah tangga benar-benar dapat dengan senang hati membagi tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional. Dengan cara demikianlah, tujuan perkawinan dapat tercapa. Hal ini berkaitan sekali dengan hadis Nabi SAW. dari  yang berbunyi:
ألثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأمر وإذ نها سكوتها   
Dalam budaya masyarakat Islam Indonesia, masih cukup kuat anggapan bahwa soal jodoh bagi anak laki-laki di tangan Tuhan, dan bagi anak perempuan adalah urusan orang tua (ayah), sehingga sering kita jumpai seorang gadis yang akan menikah sampai hari yang telah ditentukan ia belum mengenal siapa sebenarnya calon suaminya. Pola pemaksaan perkawinan ini terutama terjadi di kawasan orang yang berpaham legal-formalistik terhadap agama atau dipengaruhi kultur Jawa karena malu dengan stigma-stigma yang memojokkan perempuan yang tidak segera menikah.
Pandangan tentang dibolehkannya hak ijba>r terhadap anak perempuannya dalam menentukan calon suami akhir-akhir ini mulai digugat oleh para intelektual muslim. Hal ini menjadi penting untuk ditindaklanjuti agar fiqh perempuan memperhatikan hak-hak perempuan secara proporsional atau berparadigma gender.
Ibnu Taimiyyah memiliki reputasi intelektual dalam mazhab Hambali, bahkan ia memiliki pemikiran yang liberal berkenaan dengan persoalan hak ijba>r. Ibnu Taimiyyah sebagai figur sekaligus pemikir besar yang mampu berbicara pada zamannya. Ia berbeda dengan ilmuan Ahmad Ibnu Hambal yang nota bene sebagai pendiri mazhab Hanabilah. Ibnu Taimiyyah melampaui pemikiran kebanyakan ulama saat itu
Menurut Ibnu Taimiyyah, hak ijba>r tidak terletak pada kegadisan dan kejandaan, meskipun dalam hadis Muslim secara eksplisit dikatakan janda (al-Ayyim), melainkan terletak pada unsur kedewasaannya. Oleh karena itu, hak ijba>r wali akan hilang apabila anak yang akan dinikahkannya sudah dewasa, baik ia masih gadis maupun sudah pernah menikah. Sebaliknya, sekalipun ia pernah menikah tetapi belum dewasa, seorang wali masih memiliki hak ijba>r terhadapnya
Sedangkan Ahmad Azhar Basyir sebagai seorang pemikir di bidang pemikiran Islam yang senantiasa mewarnai khasanah intelektual pemikiran hukum Islam di Indonesia. Penafsiran dan pemahamannya yang brilian di bidang hukum telah membangkitkan suatu wacana baru yang berharga bagi perkembangan pemikiran hukum Islam. Satu hal yang sangat menarik  dan rasional adalah pemahaman beliau yang menyangkut wali mujbir. Menurut beliau, wali mujbir adalah wali yang mempunyai hak memaksa pada anak gadisnya tanpa izin gadis yang bersangkutan. Wali mujbir dapat menggunakan hak ijba>rnya terhadap anak gadisnya, tetapi harus memperhatikan prinsip suka rela si gadis yang dalam perwaliannya. Oleh karena itu diperlukan beberapa persyaratan  untuk dapat menggunakan hak ijba>r terhadap anak gadisnya, yaitu: 
1.      Laki-laki pilihan wali harus kufu'  (seimbang) dengan gadis yang dinikahkan.
2.      Antara wali mujbir dengan gadis tidak ada permusuhan.
3.      Antara gadis dengan laki-laki calon suami tidak ada permusuhan.
4.      Calon suami harus sanggup membayar mas kawin dengan tunai.
5.      Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istri dengan baik dan tidak terbayang akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan istri.
Kerangka Teoretik
Tujuan Islam diturunkan Allah S.A.W. di tengah-tengah manusia adalah untuk menegakkan kemaslahatan. Teks al-Qur'an menggarisbawahi bahwa syari'at Islam ditegakkan di muka bumi sebagai rahmatan lil'a>lamin, membawa visi dan misi sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Dengan pertimbangan kemaslahatan tersebut, hukum Islam yang terkandung di dalamnya perintah dan petunjuk untuk menjalani kehidupan di dunia ini harus menjamin kemaslahatan manusia. Fiqh sebagai produk pemikiran manusia senantiasa bertolak dari paradigma kemaslahatan yang universal. Dalam konteks inilah, sekalipun Islam dikenal sebagai agama wahyu dan ajaran-ajarannya itu merupakan firman Tuhan, Islam dengan teks al-Qur'a>n dan hadis} Nabi S.A.W. merupakan produk sejarah dari ide dialog universalitas Tuhan dengan realitas empirik yakni realitas sosial dan budaya yang mengitarinya.
Pada dasarnya, Fiqh merupakan kajian integral dari syari'at Islam yang harus mengutamakan kemaslahatan secara holistik. Dalam realitas kontemporer, fiqh dijadikan satu pijakan (legal formal) untuk menghukumi sehingga tradisi keagamaan yang dominan adalah tradisi fiqh yang sangat konvensional dengan produk hukumnya. Dalam kenyataan (das-sein), fiqh seringkali melegitimasi tradisi masyarakat yang bias gender disebabkan tradisi fiqh sangat dominan menjadikan laki-laki sebagai "subyek". Artinya tradisi Fiqh tidak bisa lepas dari latar belakang mujtahid, segi intelektualitas, sosial dan budaya tertentu. Karena, seandainya lepas dari konteks sosial, mereka tidak akan relevan pada masa itu, bahkan produk pemikiran mereka dianggap imajinasi abstrak.
Salah satu syarat perkawinan dalam Fiqh menurut jumhur ulama adalah adanya wali. Sehingga adanya kerelaan kedua pihak antara wali mempelai perempuan dan mempelai laki-laki (ija>b qabu>l) juga menjadi syarat sah akad perkawinan dianalogikan dengan jual beli. Namun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat mengenai hak menentukan pilihan apakah menjadi hak wanita atau hak wali. Pendapat di antara fuqaha' tentang hak ijba>r dalam menentukan pilihan terutama perbedaan pendefinisian kata secara etimologi dan penggunaan al-Qiyas dalam wilayah ijma'.
Realitas masyarakat sekarang khususnya Indonesia, terdapat banyak wanita yang melakukan kegiatan publik, transaksi mu'amalah, ikut menanggung beban keluarga bahkan ikut dalam politik kenegaraan. Namun banyak orang tua atau wali yang menjodohkan anak-anak mereka tanpa persetujuan anak tersebut bahkan tidak jarang ada yang menjodohkan mereka ketika masih kecil (belum dewasa). Padahal tujuan perkawinan yang sangat suci itu yang diperlukan kesiapan jasmani maupun rohani dan kematangan jiwa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di tengah perjalanan kehidupan rumah tangga seperti persengketaan, percekcokan yang berkepanjangan dan berakhir dengan perceraian. Dengan demikian, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sangat diperlukan demi terciptanya kemaslahatan secara umum bahkan kepentingan yang berpihak kepada golongan. Hal ini senada dengan al-Qaidah al- Fiqhiyyah:
د رء المفاسد مقد م على جلب المصالح 
Laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam pemilihan jodoh untuk menentukan siapa yang akan menjadi pendampingnya di masa depan, demi keharmonisan, kebahagiaan, kesejahteraan, ketenteraman dan ketenangan dalam kehidupan berkeluarga. Oleh karena itu, ajaran Islam memberi tuntunan dalam menentukan pilihan.
Dalam kehidupan sekarang, hak ijba>r tidak dapat lagi dipertahankan, apalagi hal ini bertentangan dengan prinsip kemerdekaan. Karena pernikahan dalam Islam  merupakan sebuah kontrak antara dua pasangan yang setara maka siapapun yang menyelenggarakan pernikahan tidak dapat bertindak melaksanakan tugasnya tanpa memastikan persetujuan pengantin perempuan dan syarat yang ingin ditetapkannya, termasuk besar mas kawin yang ingin didapatkan dari calon suaminya. Demikianlah akan terlihat bahwa tanpa persetujuan seorang perempuan, dan persetujuan syarat-syarat yang dimintanya, sebuah pernikahan tidak dapat terjadi. Jelaslah perempuan merupakan mitra sejajar dalam kesepakatan kontrak perkawinan.
Kata ijba>r sendiri menurut arti bahasa adalah al-Qahru (memaksa), al-Ilzamu (pemaksaan). Sedang menurut istilah, ijba>r yaitu hak memilih dan menentukan secara sepihak atas anak gadisnya siapa bakal suaminya. Dalam pengertian fiqh, bapak atau kakek berhak menikahkan seorang perempuan tanpa dibutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan, yakni: pertama, bagi perempuan yang masih gadis. Kedua, bagi janda yang keperawanannya hilang bukan akibat hubungan seksual. Artinya, hilangnya keperawanan itu bukan sebab masuknya penis ke vagina, tetapi karena jatuh, memasukkan jari dan semacamnya. 
Istilah lain dalam bahasa Arab yang juga berarti paksaan atau memaksa adalah ikrah dan taklif. Kedua, kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan paksaan atau memaksa, dibebani atau diwajibkan mengerjakan sesuatu. Dalam al-Qur'an disebutkan:
 Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Sedangkan mengenai taklif, al-Qur'an menyebutkan :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
 Dari segi akibat hukum, istilah ikrah dan taklif memiliki perbedaan yang berlawanan. Memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu dengan cara ikrah dapat dipandang sebagai sesuatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Jika perbuatan yang dipaksakan tersebut dilaksanakan, maka perbuatan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Sebaliknya, memaksa orang lain untuk mengerjakan sesuatu secara taklif, justru merupakan pahala, karena termasuk dalam kategori amar makruf nahi munkar  
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnahnya mengatakan bahwa wali mujbir adalah seorang wali yang berhak mengakadnikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya tanpa menanyakan pendapat mereka (anak gadis) terlebih dahulu. Akadnya berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat rid}a atau tidaknya
Mengenai Hak Ijabar ini, Dalam al-Qur'an tidak terdapat dalil secara khusus atau langsung yang menunjukkan pada persoalan hak ijba>r wali. Akan tetapi yang ditunjukkan atau dan ditekankan dalam al-qur'an adalah kewajiban wali menikahkan perempuan. Dalam persoalan pernikahan, al-Qur'an menyebutkan adanya larangan mempersulit pernikahan terhadap wanita.
Pada dasarnya penolakan wali untuk mengawinkan anak perempuannya dilarang oleh agama. Al-Qur'an menyatakan:
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
 Ayat ini turun berkaitan dengan kasus seorang sahabat Nabi SAW bernama Ma'qal Bin Yasar. Sahabat ini telah menikahkan saudara perempuannya. Tidak lama kemudian suaminya menceraikannya hingga habis iddahnya. Bekas suami ini kemudian bermaksud menikahinya kembali. Mendengar hal ini, Ma'qal marah, ia bersumpah tidak akan menikahkannya.
Dari kasus ini dapat dipahami bahwa andaikata saja perempuan tersebut boleh menikahkan dirinya kepada bekas suaminya itu, niscaya ayat tersebut tidak diturunkan. Bahkan Ma'qil diperintahkan oleh Nabi SAW untuk membayar denda sebagai hukuman atau sumpahnya (kifarat).  
Inti ayat di atas mengungkapkan bahwa siapapun (termasuk wali) tidak boleh menghalangi pernikahan seorang wanita untuk menikah dengan pilihannya.
Beberapa kesimpulan penafsiran terhadap ayat diatas diantaranya adalah:
1.      Khitab ditunjukkan kepada wali (bapak, kakek, saudara laki-laki) untuk tidak menolak wanita yang ada di bawah perwaliannya. Dalam hak ini, jelas bahwa eksistensi wali nikah pada masa Nabi Muhammad SAW. memang ada. Sehingga perkawinan tanpa adanya wali tidak dibenarkan.
2.      Khitab ayat tersebut ditunjukkan dan diperuntukkan kepada masyarakat umum.
3.      Tidak diperbolehkan memaksakan pernikahan serta enggan menikahkan.
4.      Secara eksplisit membolehkan wanita untuk menikahkan dirinya sendiri dan tidak seorangpun boleh menolaknya dengan alasan adanya kebaikan di masa depannya.
 Dari zahir ayat di atas menunjukkan bahwa seorang wali tidak boleh semena-mena mempergunakan haknya terhadap wanita yang ada di bawah perwaliannya.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut ada beberapa hadis yang relevan dengan larangan terhadap wali yang memaksakan kehendak terhadap anak gadisnya diantaranya adalah hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh jama’ah ahli hadis:
قالو رسول الله صلهم, لا تنكح الاًيم حتى تستاًمر ولا البكر حتى تستاًذن, قالو: يا رسول الله وكيف اذنها؟ قال: اًن تسكت.

Dalam hadis Abu Hurairah tersebut terdapat pengertian yang berupa larangan Rasulullah SAW. untuk menikahkan gadis tanpa izinnya, sebagaimana beliau melarang menikahkan janda tanpa perintahnya. Hadis tersebut menetapkan bahwa sahnya akad nikah digantungkan pada persetujuan wanita. Persetujuan tersebut jika dari janda adalah dengan perintahnya, dan jika gadis adalah dengan diamnya. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan antara gadis dengan janda adalah pada cara menyatakan persetujuannya. Dengan demikian, meminta persetujuan atau izin itu wajib hukumnya bagi wali.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW. bersabda, hadis Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Daruqutni:
اًن جارية بكرا اًتت رسول الله صلعم فذكرت اًنّ اًباها زوّجها وهي كارهة فخيّرها النبيّ صلعم

Adapun dasar kebolehannya bapak menikahkan perempuan tanpa izin dari perempuannya yang bersangkutan adalah hadis dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
ألثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأمر فى نفسها وإذ نها صماتها 
Hadis ini menunjukkan bahwa adanya pengklasifikasian dan perbedaan antara gadis dan janda. Kekuasaan bapak selaku wali terhadap golongan tersebut tidak sama, sebagaimana kandungan dari teks hadis tersebut, yakni janda lebih berhak atas dirinya  dari pada walinya. Mafhu>m Mukha>lafahnya bahwa bapak lebih berhak terhadap anak gadisnya. Mafhu>m mukha>lafah ini diperkuat oleh mantuq hadis Ibn Abbas:
الثيّب اًحق بنفسها من وليها والبكر يزوًجها اًبوها
Hadis lain dari Khansa’ binti Khidam yang diriwayatkan oleh jama’ah ahli hadis kecuali Muslim:
عن خنساء بنت خدام الاًنصارية اًنّ اًباها يزوّجها وهي ثيّب فكرهت ذلك فاًتت رسول الله صلعم فردّ نكاحها
Perawi hadis mengatakan bahwa kalimat “sedangkan ia janda” merupakan suatu isyarat yang menunjukkan ‘illat atau sebab dari penolakan Rasul. Hal itu mengutarakan bahwa jika ia masih gadis tentulah pernikahannya tidak ditolak oleh Rasul. 
Adapun dasar hukum tentang pentingnya wali dalam suatu perkawinan antara lain adalah firman Allah SWT. yang berbunyi: 
 dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.

Dalam ayat yang lain, Allah SWT. juga berfirman:
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
 Dalam kaitan ini Rasulullah SAW. bersabda:
أيما أمرأة نكحت بغير إذ ن وليها فنكاحها باطل ثلاث مرات, فإذا د خل بها فالسلطان ولي من لا ولي له 
 Dalam hadis} yang lain Rasulullah SAW. bersabda:
لا نكاح إلا بولي    
 Dari kedua ayat al-Qur'an dan hadits di atas memberikan suatu gambaran akan pentingnya wali dalam perkawinan. Hal ini ditandai dengan penegasan Rasulullah yang mengatakan bahwa suatu perkawinan tanpa wali dianggap tidak sah atau dengan kata lain perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Dari nas kedua ayat di atas khususnya tampak jelas ditujukan pada wali agar menikahkan perempuan yang tidak bersuami dan orang-orang yang tidak beristri di satu pihak, dan melarang wali menikahkan laki-laki muslim dengan wanita non muslim. Sebaliknya, wali dilarang menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non muslim sebelum mereka beriman di lain pihak
Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa kedudukan wali dalam perkawinan sangatlah penting di satu sisi, di sisi yang lain diharapkan agar wali tidak berlebihan dalam menjalankan perannya sebagai wali dengan tidak melampaui batas-batas hak yang dimiliki anak gadisnya. Dalam konteks ini memaksakan kehendaknya kepada anak gadisnya dengan mengawinkan kepada laki-laki yang tidak dikehendakinya.
Dalam  fiqh, seorang perempuan yang masih perawan yang akan dinikahkan cukup dimintai izinnya. Sebagai salah satu bentuk persetujuan izin tersebut adalah "diam". Tetapi, di samping itu orang tua, terutama bapak dan kakek memiliki hak istimewa untuk memaksa menentukan pilihan pasangan hidupnya. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak ijba>r. Hak ijba>r oleh banyak orang dipahami sebagai hak bagi wali (bapak atau kakek) untuk menjodohkan anak atau cucu perempuan. Hal ini menimbulkan asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa.
Pada dasarnya, pandangan tentang ijba>r antara yang menerima atau menolak ijba>r bertemu pada satu muara yaitu demi kemaslahatan gadis. Mereka yang mendukung ijba>r dengan alasan kebaikan (maslahah) wanita, sedangkan mereka yang menolak dengan tujuan agar hak wanita itu dikesampingkan dan memberikan kemaslahatan kepada wanita untuk menentukan pilihan sendiri. Kendati demikian, sebuah perbuatan beresiko tersebut seringkali tidak sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan bahkan menjadi bumerang bagi keluarga pihak wanita. Perkawinan yang dilakukan wali tanpa izin dan persetujuan wanita beresiko terhadap ketidakharmonisan dan kurang matang dan tanggung jawab.
Oleh karena itu, sebelum perkawinan dianjurkan untuk mengadakan peminangan (khit}bah) agar calon mempelai saling mengenal (ta’aruf), mencari kesesuaian dan suka sama suka (tara>din) untuk melakukan perkawinan. Hal inilah yang membedakan harkat dan martabat  manusia dengan kelangsungan hidup makhluk lain. Akan tetapi, fenomena hukum Islam mengakui keterlibatan orang tua (wali) yang cukup berpengaruh dalam eksistensi akad perkawinan. Imam asy-Syafi’i mengakui keterlibatan wali dalam perkawinan, bahkan bapak (wali mujbir) mempunyai hak untuk mengawinkan wanita (orang yang di bawah perwaliannya) dengan pilihan walinya tanpa izin dan persetujuan wanita terlebih dahulu. Izin dan persetujuan untuk melakukan perkawinan wanita tersebut diberikan kepada wali mujbir
Berbeda dengan hal itu, pada dasarnya, menurut Ibn Taimiyyah dan Ahmad Azhar Basyir wali mujbir tidak boleh mengawinkan wanita baik gadis maupun janda yang sudah dewasa tanpa persetujuannya. Meminta izin dan persetujuan kepada gadis maupun janda yang sudah dewasa adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi oleh siapapun. Apabila akad perkawinan tetap dilakukan tanpa peretujuan mereka, maka akad perkawinan menjadi fasid (batal) dan harus dilakukan fasakh.
Yang melatarbelakangi persamaan pendapat antara Ibn Taimiyah dengan Ahmad Azhar Basyir diantaranya adalah dalam melakukan ijtihad (dalam bidang fiqh) kedua-duanya menempatkan al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber pokok pertama dan kedua bagi hukum Islam, kemudian diikuti dengan ijma’(yang bersandar kepada al-Qur’an dan hadis) sebagai dasar yang ketiga. Kendati demikian, Ibn Taimiyah sebagai ulama’ yang berada dilingkungan mazhab Imam Ahmad Bin Hambal lebih jauh pandangannya terhadap hak ijba>r ketimbang ulama’ lainnya di lingkungan ulama’ mazhab. Muh. Zuhri dalam kesempatan tulisannya menyatakan bahwa sekalipun Ibn Taimiyah termasuk salah seorang ulama’ yang berpandangan liberal berkenaan dengan penolakannya terhadap hak ijba>r, Ibn Taimiyah dalam di siplin ilmu filsafat dan kalam tergolong konservative, artinya dalam menafsirkan teks-teks keagamaan yang berhubungan dengan wilayah filsafat dan kalam cenderung tekstual dan dalam memahami teks hadis mengenai hak ijba>r menangkap artinya secara manusiawi.
Secara metodologis, pemikiran Ibn Taimiyah tidak dapat dilepaskan dari peran beliau dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Seperti halnya telah disinggung di atas, dalam masalah fiqh IbnTaimiyah terbolong sebagai ulama’ yang liberal. Pandangannya yang bersifat furu’ atau hukum-hukum cabang, Ibn Taimiyah menggunakan nalar analogi (Qiyas). Sistem nalar inilah yang kemudian perkembangannya sangat berpengaruh dalam berbagai pandangannya. Nalar analogi atau disebut juga dengan istilah Qiyas, yang digunakan Ibn Taimiyah dalam istimbat hukum yaitu dengan mencari ta’lil al-ahkam, yakni indikasi-indikasi yang mengarah pada hukum asal dengan pertimbangan rasional.
Dalam kitabnya ar-Radd ‘ala> Mantiqiyyin, Ibn Timiyah menekankan Qiyas sebagai metode berpikir kritis, apapun persoalannya dalam Islam itu harus dikembalikan kepada al-Qur’an dan hadis.
Sistem analogi yang dipegang Ibn Taimiyah yang pada perkembangannya juga berpengaruh pada pemahamannya tentang hak ijbar, Ibn Taimiyah menempatkan Qiyas sebagai pisau analogi hukum.
Ibn Taimiyah membedakan ijba>r secara terminologis, menurutnya ijba>r itu lebih diartikan sebagai hak memilih yang diperkenankan kepada siapapun, termasuk orang tua atau wali untuk mengusulkan calon suami kepada anak perempuannya baik janda maupun gadis.
Pernyataan tersebut nampak ketika Ibn Taimiyah  bahwa hak ijba>r sebenarnya tidak ada dalam fiqh munakahat. Tetapi dalam kelanjutannya beliau pun masih toleran dengan memberikan batasan-batasan orang tua atau walinya dalam memberikan saran dan masukan berkenaan dengan calon suaminya kelak.
Sebagaimana Ibn Timiyah, Ahmad Azhar Basyir dalam berijtihad (dalam bidang fiqh) juga menekankan penggunaan dalil-dalil ijtihad semisal Qiyas, maslahah, dan lai-lain manakala suatu persoalan yang status hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an, hadis serta ijma’ Sahabat yang bersandar kepada al-Qur’an dan hadis.  
Pandangan Ibn Taimiyah dan Ahmad Azhar Basyir terhadap cara pengambilan persetujuan wanita terutama gadis berdasarkan diamnya sebagai tanda penyampaian gadis karena gadis diidentikkan seringkali malu dan dianggap tabu untuk mengutarakan kehendak hatinya, berbeda dengan janda yang dianggap lebih berani dan lebih berhak terhadap dirinya sehingga persetujuannya harus diambil dengan ucapan yang jelas (oralis), tidak cukup dengan diam yang disimpulkan sebagai penerimaan ataupun penolakan seorang janda.
Pentingnya izin dari si gadis bagi wali yang akan menikahkan gadisnya dengan laki-laki pilihan wali tersebut, tentunya akan menimbulkan suatu kemaslahatan dan sikap yang saling rela serta ikhlas dalam membentuk suatu rumah tangga. Sebab perkawinan merupakan akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan keluarga yang kekal dan bahagia yang diliputi rasa ketentraman serta rasa kasih sayang dengan cara yang diridai Allah SWT.
Terlepas dari itu, memaksakan kehendak yang dilakukan oleh si wali terhadap anak gadisnya diperbolehkan oleh Ahmad Azhar Basyir bahkan hukum Islam sepanjang pemaksaan kehendaknya itu dapat membawa kemaslahatan bagi si gadis dalam membentuk suatu rumah tangga, sehingga tujuan perkawinan dapat tercapai.

Dalam masalah ijba>r, mereka tidak menggunakan semua dalil dari hadis Nabi Muhammad SAW. mengenai keharusan meminta persetujuan (isti’ma>r) wanita yang masih gadis dan janda dalam perkawinan. Mereka hanya menggunakan hadis tentang perintah meminta persetujuan (isti’ma>r) wanita yang sudah janda dan yatimah dan anjuran meminta izin (isti’za>n) terhadap gadis sehingga perbuatan wali untuk meminta persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan melainkan pilihan (ikhtiyar) dan anjuran, berbeda dengan wanita yang sudah mendapat status janda.        
Adapun dalil yang menjadi pegangan Ibn Taimiyyah antara lain adalah sebagai berikut:
 لاتنكح البكر حتى تستاًذن ولاالثيب حتى تستاًمر فقيل له: ان البكر تستحيى؟ فقال: اذنها صماتها وفي لفظ قي الصحيح البكر يستاًذنها اًبوها

Sedangkan dalil yang menjadi pegangan Ahmad Azhar Basyir adalah:
ااًن جارية بكرا اًتت النبي صلى الله عليه و سلم فذكرت اًن اًباها زوجها وهي كارهة فخيرها النبي صلى الله عليه وسلم

         Ahmad Azhar Basyir juga beralasan dengan pertimbangan rasio bahwa bapak tidak mempunyai hak terhadap kekayaan anaknya yang telah dewasa, maka demikian pula terhadap urusan pernikahan yang tujuan utamanya adalah hubungan sex di mana bapak tidak mempunyai kepentingan. Oleh karena itu bapak tidak pantas apabila mencampuri urusannya.
Produk pemikiran Ibn Taimiyah dan Ahmad Azhar Basyir dalam masalah ijba>r di atas berkaitan dengan ijtihad mereka yang cenderung normatif-deduktif (istinbat), menempatkan teks al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai titik berangkat awal dalam satu analisa persoalan hukum. Model pendekatan ini cenderung didominasi oleh Aristetalian Logic yang bercirikan dichotomous logic. Dengan demikian, suatu masalah hukum cenderung dilihat secara benar-salah, hitam-putih dan Halal-haram sehingga pemikiran tersebut pada perkembangan selanjutnya menjadi bersifat sempit, kaku dan menolak nuansa di luar dua kutub ekstrem tersebut. Oleh karena itu, Fuqaha pada masa modern banyak menawarkan model pemikiran dengan kolaborasi antara pendekatan normatif-deduktif dan pendekatan empiris induktif (istiqra’). Pendekatan model kedua ini menunjukkan gejala yang beda jika tidak bertentangan.ia lebih bercirikan hegelian logic yang mana kebenaran bersifat relatif dan dipengaruhi oleh asumsi-asumsi dasar yang dianut serta dialektika sosial yang terjadi. Dengan demikian hasil ketentuan model pendekatan ini bersifat luwes, fleksibel, inklusif serta dipandang mengikuti denyut jantung dan perkembangan masyarakat dengan tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip yang ada.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ibn Taimiyyah dan Ahmad Azhar Basyir mempunyai kesamaan dalam masalah hak ijba>r wali nikah. Terlepas dari itu, wali mujbir dalam pandangan Ahmad Azhar Basyir adalah wali yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya untuk dinikahkan dengan laki-laki tanpa izin gadis yang bersangkutan. Wali mujbir yang mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuannya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Laki-laki pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang dikawinkan
  2. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan gadis
  3. Tidak ada permusuhan antara gadis dengan laki-laki calon suami
  4. Calon suami harus sanggup membayar maskawin dengan tunai
  5. Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istri dengan baik, dan tidak dikhawatirkan akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan istri
Sedangkan mengenai gadis kecil atau belum dewasa dan janda yang belum dewasa terdapat perbedaan di antara mereka. Ibn Taimiyyah membolehkan ijba>r terhadap wanita yang belum dewasa baik gadis maupun janda berdasarkan dalil kitab atau mafhum mukhalafah hadis Abu Hurairah tentang larangan mengawinkan yatimah tanpa izin dan persetujuannya, sehigga wali mujbir dapat mengawinkan (ijba>r) terhadap wanita selain yatimah termasuk janda kecil atau belum dewasa. Tindakan meminta izin dan persetujuan hanya berlaku untuk wali terhadap wanita yang sudah dewasa, bukan anak kecil. Segala urusan anak kecil (hak milik) ada pada walinya termasuk perkawinan janda yang belum dewasa. Selain itu pendapat Ibn Taimiyyah diatas juga berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW dari Ibnu 'Abbas.
Menurut Ibn Taimiyyah, manat al-ijba>r pada hadis tersebut tidak terletak pada kegadisan atau kejandaan, meskipun dalam hadis tersebut secara eksplisit dikatakan janda (al-ayyim), tetapi pada kedewasaaan. Oleh karena itu, hak ijba>r wali akan hilang apabila anak yang akan dinikahkannya sudah dewasa, baik ia gadis maupun janda. Sebaliknya, sekalipun ia janda tetapi belum dewasa maka wali masih memiliki hak ijba>r terhadapnya. Kata al-ayyim dalam hadis Nabi Muhammad dari Ibnu Abbas oleh Ibn taimiyyah tidak dipahami secara tekstual. Beliau memahaminya sebagai kedewasaan berpikir (rusydah).
Ahmad Azhar Basyir dalam mengklasifikasikan janda (sayyib) secara umum, mencakup janda kecil dan janda dewasa. Sehingga wali tidak boleh mengawinkan janda kecil sehingga ia dewasa karena izin dan persetujuan anak kecil tidak dianggap berlaku sedangkan statusnya sudah janda.
Dari beberapa persamaan dan perbedaan argumentasi yang ada, antara Ibnu Taimiyah dan Ahmad Azhar Basyir tentang ijba>r, ada satu titik simpul yang bisa disamakan atau dipadukan antara keduanya sebagai satu kesatuan pendapat yang melingkupi pendapatnya masing-masing. Yaitu bahwa, baik yang membolehkan maupun yang tidak memperbolehkan ijba>r semuanya bermuara kepada kemaslahatan manusia. Kendati Ahmad Azhar Basyir secara tidak langsung memperbolehkan pernikahan anak di bawah umur, namun hal itu dengan catatan tidak adanya madarat yang akan ditimbulkan dari perkawinan tersebut. Sebaliknya kalau ada madarat atau dimungkinkan adanya madarat yang akan terjadi, dengan satu misal membahayakan bagi kedua belah pihak, maka antara kedua belah pihak boleh meminta dirusakkan perkawinannya
Hak Ijba>r Dengan Kondisi Masyarakat Indonesia Sekarang.
             Dalam masyarakat Islam Indonesia kuat anggapannya bahwa soal jodoh bagi anak laki-laki adalah urusan Tuhan dan bagi anak perempuan adalah urusan orang tua atau ayah. Karena bagi mereka adalah bahwa hak menikahkan anak gadis itu ada pada wali yang dalam agama Islam disebut wali mujbir
Akan tetapi di zaman sekarang ini kekuasaan wali mujbir mulai memudar, tidak sedikit anak perempuan yang berani menentukan sendiri calon suaminya. Bahkan ada yang mengambil jalan pintas seperti kawin lari karena tidak disetujui oleh orang tuanya. Malah ada yang sampai bunuh diri atau pergi dari rumah karena dipaksa oleh orang tuanya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka jelaslah bahwa nikah paksa itu dapat menimbulkan dampak negatif.
Nikah yang dipaksakan oleh orang tua terhadap anak perempuannya akan menyebabkan akibat yang tidak baik, sebab jiwa seseorang itu tumbuh dan berkembang dari pengalaman, dan pengalaman yang pahit maupun manis akan selalu berada dalam perasaannya. Apabila ia dipaksa untuk menikah, maka hal itu merupakan kenangan pahit yang akan selalu berada dalam jiwanya.
Ada dua akibat yang dapat ditimbulkan dari adanya paksaan, yaitu menentang dan menerima dengan bersikap masa bodoh. Pada akibat yang pertama yaitu menentang dapat menimbulkan sifat kelaki-lakian yakni ingin menguasai lain jenis, yang merupakan ungkapan tidak puas terhadap ayahnya yang kemudian dilampiaskan kepada suaminya karena mereka sama-sama laki-laki. Istri semacam ini cenderung untuk membeberkan kekurangan-kekurangan suaminya, maka ia sering mengkritik kesalahan-kesalahan suaminya baik patut maupun tidak patut.
Akibat ini ditimbulkan karena adanya penolakan dari sikap otoriter orang tuanya dalam memaksakan kehendaknya, sehingga ia berjuang untuk mencari pengaruh antara ia dan orang tuanya, karena menghadapi orang tuanya dan tidak berani untuk menolaknya. Maka keinginan itu dilampiaskan kepada suaminya, karena suaminya dianggap sebagai penyebab keotoriteran orang tuanya. Ia tidak sanggup menciptakan hubungan emosional dengan suaminya yang menyebabkan buruknya hubungan antara mereka. Dan rusaklah keharmonisan rumah tangga mereka.
Adapun yang kedua yakni menerima dengan masa bodoh, yang kemudian hal ini menjalar pula dalam sikapnya dalam membina rumah tangga. Sikap tersebut disebabkan ia merasa tidak berkepentingan terhadap pernikahannya. Istri yang tidak memperhatikan suami, maka ia tidak akan mengerti juga kesulitan suaminya. Hal ini dapat menyebabkan suami akan mencari pengaduan di luar istrinya sehingga satu sama lain tidak saling memperhatikan.
Suami atau istri yang tidak saling memperhatikan menimbulkan hubungan suami istri menjadi dingin, maka hubungan mereka tidak serasi lagi dan tidak akan bisa menciptakan suasana rumah tangga yang sejahtera, jauh dari kasih sayang dan menimbulkan kebencian antara keduanya.
Upaya menghindari perbuatan dan tindakan yang mungkin menyebabkan hilangnya rasa kasih sayang itu, maka ketentuan agama harus dipatuhi agar tujuan pernikahan dapat terpenuhi,    
Akibat lain dari adanya nikah paksa adalah tidak adanya keterikatan kepada keluarga yang disebabkan oleh sikap masa bodohnya atas pernikahannya. Suatu masalah yang seringkali menyebabkan rumitnya permasalahan dalam rumah tangga adalah terlalu terikatnya suami atau istri kepada ibu atau anggota keluarga yang lain. Setiap kali mengalami kesulitan dalam rumah tangganya ia segera lari kepada ibu atau bapaknya. Sikap yang demikian menandakan ketidakmatangan emosional atau dapat juga dikatakan istri tersebut mempunyai sifat kekanak-kanakan atau manja yang tidak pada tempatnya. 
Rumah tangga semacam ini sering retak dan berantakan karena terlalu patuhnya istri kepada bapak ibunya, di mana kehidupan rumah tangganya selalu diatur oleh orang tuanya. Perempuan yang seperti ini tidak mampu mengendalikan rumah tangganya, tidak bisa mengambil keputusan tentang sesuatu dan selalu bergantung pada orang tuanya atau suaminya.
Hal-hal yang merupakan akibat nikah paksa yang telah penyusun paparkan tersebut kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, sebagaimana kemungkinan tercapainya rumah tangga yang harmonis apabila calon suami itu pilihan perempuan sendiri.
Di dalam Islam tidak diatur tentang usia pernikahan bagi perempuan, bahkan Nabi Muhammad SAW. menikah dengan 'Aisyah ketika 'Aisyah masih berumur sembilan tahun. Akan tetapi akan dijelaskan bahwa tujuan dari perkawinan yang membentuk suatu rumah tangga adalah kesejahteraan, yang disebut dengan "mawaddah wa rahmah”.
Kesejahteraan dan kebahagiaan yang dikehendaki dari ayat ini tidak akan tercapai apabila pernikahan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masih kecil, yang belum mengetahui dan paham tentang urusan agama dan belum matang jiwanya.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal pernikahan anak kecil sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT.

dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Apabila anak kecil boleh menikah sebelum dewasa maka ayat ini tidak ada gunanya, sebab anak kecil itu belum perlu menikah karena tujuan pernikahan adalah untuk pelepasan syahwat dam untuk memperoleh keturunan sedangkan mereka belum mampu melaksanakannya. Menurut ulama' empat Mazhab bahwa anak gadis di bawah umur yang dinikahkan oleh ayah atau kakeknya tidak mempunyai hak pilih setelah dewasa. Menurut Abu Hanifah apabila dinikahkan oleh wali selain ayah dan kakeknya maka ada hak pilih untuk menerima atau menolak ikatan pernikahannya setelah ia dewasa. Akan tetapi pandangan mereka hanya didasarkan pada dugaan saja dan kurang mengandung perintah Allah SWT. dan  RasulNya.
Menurt hadis sahih dari Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan bahwa beliau telah menikahkan anak Hamzah yang masih di bawah umur dengan Amar bin Abi Salmah dan beliau mengatakan bahwa mereka berhak menerima atau menolak pernikahan tersebut bila ia sudah dewasa. Hal ini menjelaskan bahwa adanya hak bagi mereka untuk melaksanakan haknya bila ia telah mencapai usia dewasa. Dan beliau juga menjelaskan bahwa karena beliau hanyalah sepupunya dan bukan ayah dari anak perempuan itu maka pernikahan tersebut tidak mengikat bagi anak perempuan itu. 
Maka pernikahan hendaknya hanya dilangsungkan setelah masing-masing mencapai taraf kematangan baik secara fisik-biologis maupun mental-psikologis. Untuk semua Negara termasuk Negara-negara Islam dewasa ini telah mengundangkan ketentuan batasan minimal usia nikah. Sebagaimana di Indonesia telah di atur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
Wallahu ‘alam
 
Support : Music Live | Timur Belambangan | Blogger Tips
Copyright © 2013. LANGIT BIRU PEMBAHARU - izal_zakaria All Rights Reserved
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger