Kata taukil berbentuk mas}dar,
berasal dari kata wakkala-yuwakkilu-tauki>lan yang berarti
penyerahan atau pelimpahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia taukil atau
pelimpahan kekuasaan adalah bermakna proses,cara, perbuatan melimpahkan
(memindahkan) hak wewenang. Sedangkan kata al-waka>lah atau
al-wika>lah adalah perwakilan. Yang menurut bahasa berarti al-h}ifz},
al-kifa>yah, ad-d{aman dan attafwi>d yang berarti
penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat.
Dari segi makna secara etimologi,
baik taukil maupun waka>lah tidak terdapat perbedaan. Karena
keduanya berasal dari satu kata yang sama, yaitu wakala.
Adapun pengertian taukil atau
waka>lah menurut istilah syara‘ dalam perspektif berbagai maz\hab adalah
sebagai berikut : Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
waka>lah adalah seseorang menempati diri orang lain dalam
hal tas}arruf (pengelolaan). Ulama Malikiyah mengatakan, al-waka>lah
adalah seseorang
menggantikan (menempati) tempat
orang lain dalam hak dan kewajiban, kemudian dia mengelola pada
posisi itu. Ulama Hanabilah mengatakan, al-waka>lah
adalah permintaan ganti seseorang yang memperbolehkan
adanya tas}arruf yang seimbang pada pihak lain, yang di dalamnya
terdapat penggantian dari hak-hak Allah SWT dan hak-hak manusia. Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah
al-waka>lah berarti sesorang yang menyerahkan urusannya kepada
orang lain agar orang yang mewakilinya itu dapat melaksanakan sesuatu
urusan yang diserahkan kepadanya selama yang menyerahkan masih hidup. Dari beberapa definisi berbagai
ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-waka>lah adalah
penyerahan urusan seseorang kepada orang lain (wakilnya) untuk melaksanakan
suatu urusan, kemudian wakil tersebut menempati posisi yang mewakilkan
(muwakkil) dalam hak dan kewajiban yang kemudian berlaku selama muwakkil
masih dalam keadaan hidup.
Dalam hukum perkawinan Islam
dimungkinkan adanya waka>lah. Perwakilan di dalam pernikahan
seperti halnya perwakilan pada seluruh akad. Bagi seorang atau kedua mempelai
yang berhalangan sehingga tidak dapat hadir di majelis akad dapat
mewakilkan kepada orang lain. Bagi, mempelai putra berhak mewakilkan kepada
orang lain dan mempelai putri yang diwakili oleh wali nikah dapat pula
mewakilkan kepada orang lain. Wali mempelai putri mewakilkan
kepada orang lain untuk menikahkan perempuan yang di bawah
perwaliannya, dikenal dengan istilah taukil wali nikah, yang berarti penyerahan
wewenang wali nikah kepada orang lain yang memenuhi syarat untuk menempati
posisi wali tersebut sebagai pihak yang
mewakili (wakil) mempelai
perempuan dalam akad nikah. Wakil dalam akad nikah hanya berkedudukan sebagai
duta yang menyatakan sesuatu atas nama yang mewakilkan, yaitu yang
diberi wewenang oleh wali nikah (muwakkil) untuk menikahkan calon mempelai
putri. Kemudian setelah akad nikah selesai
maka berakhir pula tugas wakil. Pada dasarnya taukil wali
nikah dapat terjadi secara lisan. Namun,
untuk menghindari kemungkinan
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari. Hendaknya
dilakukan secara tertulis dan dipersaksikan oleh orang lain.
Kemudian dalam hal pelimpahan
kuasa, juga terdapat ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dalam pasal 1792 BW, bahwa pemberian kuasa diartikan sebagai
“suatu perjanjian dengan nama seseorang memberikan
kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
Dalam melaksanakan taukil terdapat
beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dalam taukil. Adapun rukun serta syarat-syarat taukil
adalah sebagai berikut:
a. Muwakkil (orang yang
berwakil)
Disyaratkan bahwa orang yang
berwakil itu sah atau diperbolehkan melakukan perbuatan yang
diwakilkan. Maka tidak sah pekerjaan yang dilaksanakan oleh orang yang terhalang
melakukan perbuatan seperti:
orang gila, anak kecil yang masih
dalam wilayah pengasuhan orang tua ataupun orang gila yang tidak
sempurna akalnya.
b. Wakil
Persyaratannya sama dengan muwakkil.
Sebagai wakil harus memiliki kemampuan untuk
melaksanakan perbuatan yang dilimpahkan muwakkil kepadanya dan
wakil harus orang tertentu, maksudnya orang
yang sudah ditunjuk oleh muwakkil.
Persyaratan lain yang harus dipenuhi wakil adalah:
1) Beragama Islam
2) Bali>g
3) Laki-laki
4) Adil (tidak fa>sik),
mampu menjalankan ajaran agama dengan baik dan syarat ini hanya berlaku bagi
wakil wali dan bukan untuk wakil mempelai laki-laki.
c. Muwakkil fi>h (sesuatu
yang diwakilkan), disyaratkan:
1) Menerima penggantian.
Artinya apabila wakil ternyata
tidak mampu melaksanakan maka wakil diperbolehkan
melimpahkannya kepada orang lain yang memenuhi syarat.
2) Pebuatan atau barang tersebut
adalah dimiliki oleh muwakkil.
3) Perbuatan yang diwakilkan
adalah perbuatan yang tidak dilarang (muba>h}).
4) Diketahui dengan jelas.
Muwakkil harus dengan
jelas menyebutkan pihak yang diwakili kepada wakil. Tidak sah apabila
seorang wakil mengatakan: “Aku mewakilkan kepada engkau untuk
menikahkan salah seorang anakku”.
Dengan menyebutkan salah seorang,
berarti tidak jelas seharusnya disebutkan namanya.
d. S}igat (lafaz}
mewakilkan)
Disyaratkan bahwa s}igat itu
merupakan ucapan dari muwakkil yang menyatakan kerelaannya, seperti contoh :”Aku
wakilkan perbuatan ini kepada engkau, atau kepada si
fulan”. Tidak disyaratkan qabu>l bagi
wakil, tetapi disyaratkan untuk
tidak menolak.
Adapun yang menjadi faktor-faktor
penyebab adanya taukil, yaitu:
1) Seseorang tidak dapat
melaksanakan sekaligus menyelesaikan urusannya dikarenakan sibuk.
2) Urusannya berada di tempat
yang jauh dan sulit untuk dijangkau.
3) Sesesorang tidak mengetahui
prosedur atau tata cara melaksanakan urusan yang diwakilkan tersebut.
4) Seseorang yang mempunyai
urusan sedang ada ‘uz\ur syar’i, misalnya sakit.
Faktor-faktor tersebut di atas
bersesuaian dengan kaidah fiqhiyyah:
Artinya: “Suatu perbuatan yang
mudah dijalankan tidak dapat digugurkan
dengan perbuatan yang sukar dijalankan.”
Dengan kaidah tersebut, dimaksudkan
agar dalam setiap pelaksanaan perbuatan syara’ hendaklan
dikerjakan menurut daya kemampuan orang mukallaf. Tidaklah
apa yang mudah dicapai akan
menjadi gugur dengan sesuatu yang benar-benar sukar
untuk mencapinya. Dengan kata lain, apa yang
dicapai menurut batas maksimal kemampuannya dipandang sebagai
perbuatan hukum yang sah.
Seperti halnya dalam pelaksanaan
akad nikah, bagi wali nikah yang tidak dapat menghadiri
majelis akad untuk menjadi wali dan kemudian menikahkan. Maka, wali
tersebut boleh mewakilkan kepada
orang lain yang memenuhi syarat.
Dalam hal wali nikah tidak dapat
menghadiri majelis akad dikarenakan salah satu atau
beberapa faktor yang telah disebutkan di atas. Maka, ia tidak boleh menggugurkan
kewajibannya sebagai wali nikah.
Sebagai solusinya wali tersebut
harus tetap menjadi wali nikah dengan cara taukil wali nikah
yaitu mewakilkan kepada orang lain yang memenuhi syarat untuk menjadi
wakilnya dalam akad nikah.
Semakna dengan kaidah di atas
adalah: Artinya: “Sesuatu yang tidak
dapat dicapai secara keseluruhan, tidak dapat ditinggalkan secara keseluruhan
merujuk kepada beberapa pertimbangan hukum yang disampaiakan masyarakat, ada beberapa hal yang menarik
perhatian penulis untuk dianalisis, yaitu:
1. Adapun kebanyakan pertimbangan
hukum yang dikemukakan oleh masyarkat adalah berupa kaidah-kaidah fiqhiyah
dan hanya merujuk pada kitab-kitab fiqh saja, yang secara
keseluruhan cenderung memperbolehkan adanya praktik taukil wali nikah
melalui telepon. Di sini memang terkesan dilupakan adanya peraturan perundang-undangan
perkawinan yang menyatakan adanya beberapa ketentuan yang
menyangkut taukil. Dalam PP No. 9 Tahun 1975 pada pasal 6 dijelaskan P2N yang
menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan,
meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak
terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang.
Selanjutnya salah satu
persyaratan yang terdapat pada huruf h disebutkan, bahwa “surat kuasa
otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh P2N, apabila salah seorang
calon mempelai atau keduanya tidak dapat
hadir sendiri karena sesuatu alasan
yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.” Dalam hal
ini, pihak mempelai perempuan dalam akad nikah di wakili oleh wali, dan
jika ternyata wali tidak dapat melaksanakan tugasnya. Maka, ia mempunyai
wewenang untuk mewakilkan kepada orang
lain dengan menggunakan surat
kuasa.
Dengan melaksanakan taukil wali
nikah via telepon, maka ketelitian Pegawai pencatat Nikah dalam
pemeriksaan nikah masih diragukan. Sebab jika wali bersedia menikahkan putrinya,
kenapa harus sengaja tidak hadir dalam akad dan sebelumnya juga tidak
memberikan keterangan.
2. Di dalam ketentuan
selanjutnya, pada pasal 7 ayat (2) PP 9 Tahun 1975 dinyatakan “apabila ternyata dari
hasil penelitian terdapat halangan perkawinan atau belum
terpenuhinya persyaratan pada pasal 6 yang telah di
sebutkan pada point 1, keadaan
seperti itu segera diberitahukan kepada calon atau orang tua atau wakilnya.”
Ketika P2N melaksanakan
pemeriksaan nikah, ternyata hanya catin saja yang hadir sedangkan wali
tidak dapat hadir karena alasan jarak yang jauh. Dengan demikian, meskipun
wali bersedia menjadi wali nikah namun karena jarak yang jauh maka,
tidak dapat dipastikan kehadirannya dalam majelis akad. Dan di sini
terlihat lagi kurangnya antisipasi atas kejadian taukil wali nikah via telepon oleh P2N,
bukankah pada saat pemeriksaan, wali bisa dihubungi dengan telepon dan
memastikan kehadirannya dan seandainya tidak
dapat hadir, maka dapat membuat
surat taukil wali bi al-Kita>bah. Sehingga alasan dengan menggunakan kaidah:
“Kemudaratan itu memperbolehkan hal-hal yang
dilarang”
dirasa kurang sesuai. Dalam hukum Islam, kondisi yang
menyulitkan itu disebut juga dengan darurat, suatu
keadaan sangat terpaksa. Dalam hal ini, darurat atau keterpaksaan bisa membolehkan
sesuatu yang tidak lazim terjadi dalam aturan hukum maupun kebiasaan
masyarakat. Pada umumnya, para ulama
menggambarkan masalah darurat adalah
menyangkut masalah keselamatan jiwa seseorang, masalah hidup dan
mati, baik karena kekurangan makanan ataupun karena ancaman senjata.
Demi menyelamatkan jiwa, maka seseorang diperbolehkan melakukan perbuatan
yang dilarang dalam ajaran agama.
Berbeda dengan taukil wali
nikah melalui media telepon yang bukan menyangkut masalah keselamatan
jiwa, tetapi masalah darurat karena termasuk untuk menjaga nama baik
keluarga di mata masyarakat.
3. Kemudian dalam ketentuan kompilasi Hukum Islam pada pasal 28 disebutkan “akad nikah dilaksanakan sendiri
secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan, wali dapat
mewakilkan kepada orang lain”.
Dalam pasal tersebut memang tidak
disebutkan tentang tata cara mewakilkan. Undang-undang hanya
bersifat normatif. Jadi, ketika dalam perundang-undangan tidak
disebutkan tentang tata cara tentang pelaksanaan
taukil, maka
aplikasinya kembali merujuk pada kitab-kitab fiqh.
4. Berdasarkan ketentuan yang
terdapat dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 477 Tahun 2004, mengenai
permasalahan tentang taukil disebutkan dalam pasal 19 ayat (6) yang
berbunyi “wali nasab dapat mewakilkan kepada penghulu atau pembantu penghulu
atau orang lain yang menurut penghulu atau pembantu penghulu dianggap
memenuhi syarat.” Kemudian ditindaklanjuti dalam peraturan
Menteri Agama RI Nomor 11 Tahun 2007 pada pasal 18: “untuk
melaksanakan pernikahan wali nasab dapat mewakilkan
kepada PPN, Penghulu, Pembantu
PPN atau orang lain yang memenuhi syarat.”
Dari penjelasan pasal tersebut,
hampir nampak tidak ada perbedaan antara hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan di Indonesia mengenai masalah taukil atau
pelimpahan wewenang untuk menikahkan,
keduanya menyatakan bahwa
terdapat kebolehan mewakilkan.
5. Kemudian dalam pasal 21 KMA
Nomor 477 Tahun 2004 pada ayat (2) dinyatakan “Dalam hal calon suami
atau wali tidak hadir pada waktu akad nikah, maka ia dapat mewakilkan
kepada orang lain”. Ayat selanjutnya menyatakan “Wakil sebagaimana
yang dimaksudkan pada ayat sebelumnya dikuatkan dengan surat kuasa yang
disahkan oleh Penghulu atau Pembantu Penghulu….”. Ditindaklanjuti
dengan peraturan Menteri Agama RI Nomor 11 Tahun 2007 pada pasal 20 ayat 3: “persyaratan
wakil adalah: a. memenuhi
syarat: laki-laki, beragama
Islam, baligh; bermumur sekurang-kurangnya 19 tahun, berakal, merdeka, dapat
berlaku adil. b. surat kuasa yang disahkan oleh P2N.
Dengan adanya surat kuasa dalam
hal perwakilan, maka kepastian hukum dalam hal ini tidak perlu diragukan
lagi. Sebab antara pihak yang mewakilkan dan wakil sama-sama
bertemu dan sepakat untuk saling serah
terima kekuasaan dalam hal
menjalankan tugas sebagai wali yang mengakadkan. Berbeda ketika
mewakilkan melalui telepon yang masih diragukan kebenarannya. Sebab
antara muwakkil dan wakil tidak saling bertemu, apalagi jika antara
keduanya tidak saling kenal. Kebenaran status
orang yang sedang berbicara dalam
telepon benar-benar tidak bisa dipastikan. Sehingga nantinya akan
memunculkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang mengarah pada unsur gara>r
(penipuan). Diantaranya kemungkinan suara yang di dalam telepon
adalah bukan wali melainkan orang lain, atau mungkin wali nasab dari pihak
mempelai perempuan sudah tidak begitu peduli pada keluarga atau pada mantan
istrinya, maka wali tersebut bisa menyuruh orang lain untuk mengaku
sebagai dirinya yang berbicara dalam telepon, atau bisa juga
wali tidak menyetujui atas pernikahan anaknya, sehingga apabila pernikahan tetap
saja dilangsungkan maka status pernikahan tersebut adalah fa>sid.