A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah
sebuah kitab suci yang kaya makna. Saking kayanya, setiap orang bisa memaknai
al-Qur’an secara berbeda, sesuai latar belakang sosial dan latar belakang
pengetahuannya. Pantas saja jika Abdullah Darraz men-tamsilkan al-Qur’an ibarat
permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya.[1] Begitu juga al-Qur’an,
setiap sudutnya memancarkan makna yang demikian mendalam.
Jika hal tersebut
dikorelasikan dengan tradisi penafsiran al-Qur’an kontemporer (dalam hal ini
hermeneutika, yang selalu menyatukan antara teks dan realitas) maka wajar saja
jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir selalu membawa latar belakang
yang berbeda. Akibatnya, al-Qur’an pun ditafsirkan dengan corak dan ragam yang
berbeda-beda pula.
Keragaman
penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada
periode pertengahan (merujuk periodisasi madzhab-madzhab tafsir Abdul Mustaqim[2]).
Pada periode ini, berbagai cabang keilmuan Islam, juga ideologi yang berkembang
di dunia Islam, turut memberi warna dalam tradisi penafsiran al-Qur’an.
Sehingga melahirkan beberapa corak penafsiran yang berbeda-beda. Di antaranya
tafsir corak fiqih, teologis, sufistik, falsafi, dan ‘ilmi.[3]
1Di antara
gemuruh corak penafsiran di atas, muncul sebuah corak penafsiran yang unik.
Unik karena penafsiran ini sama sekali tidak dipengaruhi cabang keilmuan
apapun. Corak penafsiran ini hanya dipengaruhi oleh salah satu aliran dalam
dunia Islam, yaitu aliran Syi’ah. Aliran yang merupakan rival utama dunia Sunni
ini banyak memberikan kontribusi yang berarti dalam tradisi penafsiran di dunia
Islam. Dari kalangan ini, telah bermunculan banyak kitab tafsir.
Dalam tulisan
ini, akan dikaji banyak hal tentang tafsir Syi’ah. Mulai dari pengertian, latar
belakang kemunculan, corak dan metodologi yang dipakai, tokoh-tokoh dan
karya-karyanya, kelebihan dan kekurangan, serta sekilas contoh penafsiran ulama
Syi’ah terhadap al-Qur’an. Paling tidak, tulisan ini mampu membuka mata kita
lebar-lebar, bahwa ternyata kalangan Syi’ah pun cukup memberikan apresiasi yang
berarti dalam tradisi penafsiran al-Qur’an di dunia Islam, seperti terjadi di
kalangan Sunni.
B. Pengertian Tafsir
Syi’ah
Sebelum
memberikan definisi mengenai tafsir Syi’ah, perlu kita perhatikan dulu dua
term, yaitu ‘tafsir’ dan ‘Syi’ah.’ Dalam beberapa literatur ilmu-ilmu
al-Qur’an, tafsir bisa disimpulkan sebagai upaya seorang mufassir dalam
memaknai dan menjelaskan makna al-Qur’an. Di antaranya Muhammad Husain
al-Dzahabi mengatakan, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang maksud Allah
swt. sesuai dengan kemampuan mufassir, yang mencakup segala sesuatu tentang
pemahaman terhadap makna dan penjelasan terhadap maksud ayat.[4]
Sedangkan Syi’ah,
secara bahasa, adalah pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. Menurut
istilah adalah kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk
pada keturunan Nabi Muhammad saw. atau yang disebut sebagai ahl al-bait. Dalam
bahasa mudahnya, dan hal ini lazim dikenal di dunia Islam, Syi’ah adalah aliran
dalam teologi Islam yang memihak dan sangat memuliakan Ali beserta
keluarganya.[5] Bahkan Muhammad Husain al-Dzahabi menyebut Syi’ah sebagai
kelompok yang mengagungkan Ali beserta keluarganya. Sampai-sampai disebutkan
bahwa Ali adalah imam setelah Rasulullah, dan orang yang berhak mewarisi
kekhalifahan.[6]
Selanjutnya,
dalam tubuh kelompok Syi'ah sendiri ada dua aliran. Muhammad Ali al-Shabuni
menyebutkan, ada kelompok Syi'ah yang terlalu fanatik, sehingga mereka sampai
terjerumus pada kekufuran dan kesesatan. Sampai-sampai Ali bin Abi Thalib
sendiri membenci mereka. Tokoh utamanya adalah Ibnu Saba,' keturunan Yahudi. Di
samping itu, ada juga kelompok Syi'ah yang moderat. Mereka tidak sampai
terjerumus pada kekufuran dan kesesatan, walaupun mereka tetap saja menentang
kaum Sunni.[7]
Dari sini bisa
disimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah adalah tafsir al-Qur’an yang muncul dari
kalangan Syi’ah yang banyak memakai pendekatan simbolik, yaitu mengkaji aspek
batin al-Qur’an.[8] Lebih lanjut kalangan Syi’ah menyebutkan, bahwa aspek batin
al-Qur’an bahkan dipandang lebih kaya daripada aspek lahirnya.[9]
C. Latar Belakang
Kemunculan Tafsir Syi’ah
Untuk melihat
kapan pastinya tafsir Syi’ah muncul di dunia Islam, perlu kiranya diperhatikan
faktor yang menyebabkan timbulnya tafsir di kalangan ini. Dalam bahasa Ignaz
Goldziher, kita harus mempertanyakan apa tujuan yang ingin dicapai oleh
penganut sekte Syi’ah dengan memasukkan kepentingan sekte keagamaan serta
prinsip-prinsip dasar mereka ke dalam penafsiran al-Qur’an?[10] Selanjutnya
Goldziher menyebutkan bahwa sebenarnya mereka mencari justifikasi dari
al-Qur’an untuk melakukan penolakan terhadap kepemimpinan Ahlu Sunnah, dengan
melakukan rongrongan atas kekhalifahan di bawah kekuasaan Dinasti Umayah dan
Dinasti Abbasiyah, kemudian melontarkan gagasan kesucian atas diri sahabat Ali
serta para imam.[11]
Dari sini penulis
melihat, sebenarnya upaya penafsiran (baca: pencarian justifikasi) al-Qur’an
sudah dilakukan sejak zaman Ali. Dan momentumnya terjadi pada zaman Dinasti
Umayah dan Dinasti Abbasiyyah. Pada masa tersebut golongan Syi’ah mendapat
tekanan begitu besar dari penguasa waktu itu. Sehingga penafsiran mereka pun
lebih banyak pada upaya-upaya apologetik dari kekuasaan dan pengaruh penguasa.
Dimana, perseturuan antara golongan Syi’ah dengan pihak penguasa sebenarnya
lebih banyak disebabkan oleh permasalahan teologis dan politik.
Memperkuat
argumentasi di atas, Rosihon Anwar bahkan berani menyebutkan, bahwa tafsir
Syi’ah muncul dengan tujuan memperkuat (melegitimasi) doktrin teologis mereka,
terutama doktrin imamah.[12] Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti sebagai
berikut.
Pertama, menurut
Imam al-Dzahabi, tafsir simbolik (dalam hal ini tafsir Syi’ah) muncul pertama
kali di kalangan Syi’ah ketika Syi’ah Isma’illiyah muncul, yakni setelah
wafatnya Imam Ja’far Shadiq pada tahun 147 H. Adapun doktrin imamah muncul
sebelum Ja’far meninggal. Bahkan, ada yang mengatakan, doktrin imamah muncul
semenjak Syi’ah Zaidiyyah, aliran Syi’ah yang muncul terlebih dahulu.
Kedua, menurut
para teolog muslim, benih-benih doktrin teologis Syi’ah dimunculkan oleh
Abdullah bin Saba.’ Beliau menebar benih-benih ini mendapat inspirasi dari
ajaran Kristen dan Yahudi. Di antaranya adalah doktrin imamah. Dan perlu
diketahui, Ibnu Saba’ hidup pada masa pemerintahan Utsman dan Ali.[13]
Selanjutnya
Rosihon menyimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah muncul setelah kemunculan doktrin
imamah, dan kemunculannya dipicu oleh doktrin ini. Dalam arti tafsir Syi’ah
digunakan sebagai alat untuk mencari justifikasi bagi doktrin imamah.[14] Lebih
rigidnya, tafsir Syi’ah muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Ismailliyah
(147 H). Kemunculan tafsir ini terjadi setelah munculnya doktrin imamah yang
muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Zaidiyyah.[15]
Jika demikian,
benar bahwa tafsir Syi’ah muncul sejak zaman pemerintahan Ali, bahkan lebih
jauh lagi sejak pemerintahan Utsman. Kemunculannya lebih banyak dipicu oleh
kepentingan teologis (atau bahkan politis?) untuk mencari justifikasi doktrin
Syi’ah, terutama masalah imamah.
D. Tokoh-tokoh
Tafsir Syi’ah dan Karya-karyanya
Prof. Dr.
Abubakar Aceh menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai ahli tafsir pertama dari
kalangan Syi’ah, karena memang beliau diklaim sebagai imam Syi’ah, pewaris
utama Rasulullah. Tidak itu saja, beliau juga dianggap sebagai ahli tafsir
pertama di dunia Sunni.[16] Selanjutnya, muncul Ubay bin Ka’ab (w. 30 H) dan
Abdullah bin Abbas (w. 68 H). Abdullah bin Abbas, yang biasa dipanggil dengan
Ibnu Abbas memiliki karya tafsir, yaitu Tafsir Ibnu Abbas. Tafsir ini sering
digunakan di dunia Syi’ah. Kedua tokoh ini disebut oleh Imam al-Suyuthi, dalam
kitab al-Itqan, sebagai sepuluh ahli tafsir dari sahabat kurun pertama.[17]
Adapun dari
kalangan tabi’in, di antaranya Maisam bin Yahya al-Tamanar (w. 60 H), Sa’id bin
Zubair (w. 94 H), Abu Saleh Miran (w. akhir abad I H), Thaus al-Yamani (w. 106
H), Imam Muhammad al-Baqir (w. 114 H), Jabir bin Yazid al-Ju’fi (w. 127 H), dan
Suda al-Kabir (w. 127 H). Yang terakhir sebenarnya bukan ulama dari kalangan
Syi’ah. Tetapi beliau sangat menguasai seluk-beluk tentang Syi’ah.
Selanjutnya, ahli
tafsir Syi’ah secara umum, dalam arti bukan hanya dari kalangan Syi’ah
(insider) tapi juga dari luar Syi’ah (outsider), di antaranya Abu Hamzah
al-Samali (w. 150 H), Abu Junadah al-Saluli (w. pertengahan abad 2 H), Abu Ali
al-Hariri (w. pertengahan abad 2 H), Abu Alim bin Faddal (w. akhir abad 2 H),
Abu Thalib bin Shalat (w. akhir abad 2 H), Muhammad bin Khalil al-Barqi (w.
akhir abad 2 H), Abu Utsman al-Mazani 9w. 248 H), Ahmad bin Asadi (w. 573 H),
Al-Fattal al-Syirazi (w. 984 H), Jawad bin Hasan al-Balaghi (w. 1302 H), dan
lain-lain.
Ada juga ulama
yang menulis tafsir dengan topik-topik tertentu, seperti al-Jazairi (w. 1151 H)
dalam bidang hukum, al-Kasai (w. 182 H) tentang ayat-ayat mutasyabihat, Abul
Hasan al-Adawi al-Syamsyathi (w. awal abad IV H) menulis tentang gharib
al-Qur’an, Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. akhir abad 2 H) menulis tentang
asbab al-nuzul, Suduq bin Babuwih al-Qummi (w. 381 H) tentang nasikh-mansukh,
dan Ibnu al-Mutsanir (w. 206 H) menulis tentang majaz.[18]
Sementara itu,
Ignaz Goldziher menganggap Imam al-Jabir al-Ju’fi (w. 128 H/745 M) sebagai
ulama yang pertama kali meletakkan dasar-dasar madzhab Syi’ah. Beliau menulis
kitab tafsir. Sayang kitab tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali melalui
cerita sepotong-sepotong. Selanjutnya, Goldziher hanya mampu menyebutkan kitab
tafsir Syi’ah sejak abad ketiga hijriyah. Di antaranya, yang paling tua adalah
kitab Bayan al-Sa’adat fi Maqam al-Ibadah karya al-Sulthan Muhammad bin Hajar
al-Bajakhti. Kitab ini dirampungkan pada tahun 311 H/923 M. Pada abad keempat
hijriyah muncul karya tafsir Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi. Sejak saat
itulah, menurut Goldziher, bermunculan produk-produk tafsir dari kalangan
Syi’ah. Salah satunya dalah kitab tafsir yang memiliki pembahasan panjang dan
terdiri dari 20 bagian karya ulama besar Syi’ah, Abu Ja’far al-Thusi (w. 460
H/1068 M).[19]
Kemudian,
Muhammad Husain al-Dzahabi menyebutkan beberapa karya tafsir Syi’ah secara
lebih gamblang. Dari kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyara di antaranya tafsir
karya al-Hasan al-‘Askari (w. 254 H), tafsir Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad
bin ‘Iyasy al-Silmi al-Kufi (w. abad III H), tafsir 'Ali bin Ibrahim al-Qummi
(w. awal abad IV H), al-Tibyan karya Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan bin 'Ali
al-Thusi (w. 460 H), Majma’ al-Bayan karya Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan
al-Thabrasi (w. 538 H), al-Shafi karya Mala Muhsin al-Kasyi, Mir-at al-Anwar wa
Misykat al-Asrar karya Abdul Lathif al-Kazirani, Tafsir al-Qur’an karya
Abdullah bin Muhammad Ridla al’Alawi (w. 1242 H), Bayan al-Sa’adah fi Maqamat
al-‘Ibadah karya Sulthan bin Muhammad bin Haidar al-Khurasani (w. abad XIV H),
dan Ala-u al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Jawad bin Hasan
al-Najafi (w. 1352 H).
Dari kalangan
Syi’ah Imamiyah Isma'iliyah atau Bathiniyah, baik Mutaqadimin maupun
Mutaakhirin, Imam al-Dzahabi tidak menyebutkan secara jelas karya tafsir yang
muncul. Begitu juga dari kalangan Syi’ah Babiyah dan Bahaiyah. Karena memang
dari tiga aliran Syi'ah ini tidak banyak kitab tafsir yang dijumpai, disebabkan
ulama dari kalangan ini tidak memfokuskan diri mengarang kitab tafsir.
Selanjutnya, dari
kalangan Syi’ah Zaidiyah ada beberapa karya tafsir. Di antaranya Gharib
al-Qur’an karya Imam Zaid bin Ali, al-Tahdzib karya Muhsin bin Muhammad bin
Karamah al-Zaidi (w. 464 H), al-Taisir fi al-Tafsir karya Hasan bin Muhammad
al-Nahawi al-Zaidi (w. 791 H), tafsir Ibn al-Aqdlam, Tafsir Ayat al-Ahkam karya
Hasan bin Ahmad al-Najari, Muntaha al-Maram karya Muhammad bin al-Hasan bin
al-Qasim, dan Fath al-Qadir karya al-Syaukani (w. 1250 H).[20]
E. Corak dan
Metode Tafsir Syi’ah
Merujuk pada
kajian yang dilakukan Rosihon Anwar,[21] secara umum, corak tafsir Syi’ah
adalah tafsir simbolik (menekankan pada aspek batin al-Qur’an)[22]. Dalam
khazanah Ulum al-Qur’an, tafsir seperti ini biasa dikenal dengan tafsir
bathini. Al-Dzahabi menyebut tafsir simbolik dengan ungkapan al-tafsir
al-ramzi, sedangkan Habil Dabashi menggunakan istilah tafsir esoterik.[23]
Kalangan Syi’ah lebih menekankan penafsirannya pada aspek batin al-Qur’an.
Pengklasifikasian al-Qur’an menjadi dua bagian, aspek lahir dan aspek batin, merupakan
prinsip terpenting dalam penafsiran Syi’ah, terutama Syi’ah Imamiyah. Bahkan,
aspek batin dianggap mereka sebagai aspek yang lebih kaya daripada aspek lahir.
Adapun metode
yang dipakai kalangan Syi’ah dalam menafsirkan al-Qur’an, beragam. Setiap aliran
dalam Syi’ah berbeda metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an. Tapi secara umum,
seperti dikemukakan Rosihon Anwar, metode yang umum dipakai kalangan Syi'ah,
yang banyak memakai pendekatan tafsir esoterisme-sentris, adalah metode
takwil.[24] Dan perlu diketahui, dalam Syi’ah ada beberapa macam aliran. Imam
al-Dzahabi membaginya ke dalam dua aliran, yaitu Zaidiyah dan Imamiyah. Aliran
Imamiyah terdiri dari Imamiyah Itsna ‘Asyariyah dan Imamiyah Isma’iliyah.
Kemudian, Imamiyah Isma’iliyah memiliki tujuh sebutan, yaitu Isma’iliyah,
Bathiniyah, Qaramithah, Haramiyah, Sab’iyah, Babikiyah atau Khurmiyah, dan
Muhmirah.[25] Setiap aliran tersebut memiliki metode tafsir khasnya
masing-masing.
Selanjutnya, kita
bahas metode tafsir al-Qur’an masing-masing aliran di atas. Setidaknya,
pembahasan ini bisa menggambarkan metode tafsir yang digunakan kalangan Syi’ah
secara umum.
Metode Tafsir
Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah
Adalah sudah
menjadi tradisi di kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah untuk menyesuaikan
ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip ajaran mereka. Misalnya dengan prinsip
imamah. Sehingga, mereka akan berusaha menjadikan al-Qur’an sebagai dalil
(justifikasi) bagi klaim-klaim mereka. Adapun metode yang mereka pakai adalah
metode takwil.[26] Dan seperti dijelaskan Jalaluddin al-Suyuthi, takwil adalah
memindahkan makna ayat dari makna yang dikehendaki oleh ayat tersebut.[27] Atau
seperti yang disimpulkan Rosihon Anwar, takwil adalah mengartikan lafadz dengan
beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna lahirnya.[28]
Salah satunya
bisa kita lihat dalam kitab tafsir al-Tibyan al-Jami’ li kulli ‘Ulum al-Qur’an
karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin Ali al-Thusi (selanjutnya disebut
Syaikh al-Thusi). Di kalangan Syi’ah, kitab ini merupakan kitab al-Thabari-nya
kalangan Sunni. Kitab tafsir ini sekaligus merupakan kitab tafsir lengkap
pertama yang muncul di kalangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
Contohnya seperti
ketika menafsirkan surat al-Maidah ayat 55.
???? ????? ????
?????? ???? ?? ????? ???? ?? ?????? ?????? ?????? ?????? ??? ??????
“Sesungguhnya
pemimpinmu adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, yang
menegakkan shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka itu ruku.” (Q.S.
al-Maidah [5]: 55).
Al-Thusi
menjadikan ayat tersebut sebagai dasar bagi keimaman Ali kw. sesudah Nabi saw.
langsung tanpa terputus. Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut al-Thusi,
adalah ‘yang lebih berhak’ atau ‘yang lebih utama,’ yaitu Ali. Juga, yang
dimaksud wa al-ladzina amanu adalah Ali kw. Maka, ayat ini ditujukan kepada Ali
kw.[29]
Sama halnya
dengan al-Thusi, al-Thabrisi, dalam tafsir Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
menggunakan ayat di atas untuk mengukuhkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Tidak beda dengan pendahulunya, al-Thabrisi juga memaksudkan ayat ini kepada
Ali kw.[30]
Melihat contoh di
atas, tampak bagaimana Syaikh al-Thusi dan al-Thabrisi menggunakan penakwilan
untuk menakwilkan kata wali dan wa al-ladzina amanu yang ditujukan kepada
Sayyidina Ali kw.
Selain dua
mufassir Syi’ah di atas, ada satu lagi mufassir dari kalangan Syi’ah Imamiyah
Itsna ‘Asyariyah, yaitu Mala Muhsin al-Kasyi. Berbeda dengan metode yang
dipakai al-Thusi dan al-Thabrisi, al-Kasyi, dalam tafsirnya al-Shafi fi Tafsir
al-Qur’an al-Karim, memakai metode tafsir bi al-ma’tsur. Hal ini terbukti
dengan banyaknya beliau menggunakan atsar-atsar. Hanya saja, karena bermaksud
memperkukuh pandangan madzhabnya, atsar-atsar yang digunakan kebanyakan
riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada Ahl al-Bait.[31]
Contoh mengenai
pendapat bahwa al-Qur’an diturunkan untuk memberikan pujian kepada Ahl al-Bait
serta menyalahkan musuh-musuh mereka. Untuk menerangkan hal ini, al-Kasyi
menggunakan riwayat Abu Ja’far: “Apabila engkau mendengar Allah menyebutkan
suatu kaum dari umat ini dengan sebutan baik, maka kitalah mereka itu. Dan
apabila engkau mendengar Allah menyebutkan suatu kaum dengan sebutan yang jelek
daripada umat terdahulu, maka mereka itu adalah musuh-musuh kita”.[32]
Metode Tafsir
Syi’ah Imamiyah Isma’iliyah (Bathiniyah)
Tidak jauh
berbeda dengan metode penafsiran Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, Syi’ah
Imamiyah Ismailiyah, atau dikenal dengan Syi’ah Bathiniyah, juga menggunakan
metode takwil dalam upaya-upaya mereka menafsirkan al-Qur’an. Bedanya, mereka
tidak menulis kitab-kitab tersendiri yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Mereka hanya melakukan penafsiran pada kitab-kitab secara terpisah.[33] Dan
perlu diperhatikan, penakwilan mereka terhadap ayat-ayat al-Qur'an terlalu
bebas, dalam arti tidak mengenal aturan-aturan takwil, seperti yang kita
ketahui dalam 'Ululum al-Qur'an.[34]
Dalam hal
penafsiran al-Qur’an, mereka berpendapat bahwa al-Qur’an itu memiliki dua
makna, makna lahir dan makna batin. Dan yang dikehendaki oleh golongan Syi’ah
ini adalah makna batin. Karena menurut mereka, orang yang mengambil makna lahir
al-Qur’an akan mendapatkan siksaan dari hal-hal yang memberatkan dari kandungan
kitab suci itu.[35] Karena pendapat mereka bahwa al-Qur’an itu memiliki makna
batin, golongan Syi’ah ini biasa disebut kaum Bathiniyah.[36]
Contohnya adalah
ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99.
??????? ??? ???
????? ??????
“Dan beribadahlah
kepada Tuhan-mu, sehingga datang kepadamu al-yaqin.” (Q. S. al-Hijr [15]: 99).
Mereka mengatakan
bahwa maksud al-yaqin adalah ma’rifat takwil. Padahal, makna al-yaqin di sini
adalah maut. Di lain tempat, kaum Bathiniyah menghalalkan perkawinan dengan
saudara-saudara perempuan dan semua muhrim lainnya. Alasan mereka, saudara
laki-laki lebih berhak atas saudara perempuan mereka.[37]
Menurut Abu Bakar
Aceh, seperti dikutip Rosihon Anwar, penafsiran mereka merupakan cerminan dari
keyakinan yang mirip Plato.[38] Mereka percaya bahwa hukuman ibadah seperti
shalat, puasa, dan sebagainya hanya perlu buat lapisan rakyat yang bodoh dan
awam. Akibatnya, setiap ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan taklif, mereka
takwilkan dengan mengambil makna batinnya. Mereka menakwilkan wudlu dengan
kepemimpinan imam, zakat dengan penyesuaian jiwa melalui pengetahuan keagamaan,
dan sebagainya.
Karena terlalu
bebasnya mereka menggunakan takwil, Dr. Mahmud Basuni Faudah sampai berani
menyebutkan, bahwa mereka bukanlah termasuk golongan orang Islam, walaupun
mereka mengklaim sebagai pengikut Ahl al-Bait.[39]
Metode Tafsir
Babiyah dan Bahaiyah
Kelompok ini
termasuk pendahulu kaum Bathiniyah, sehingga masih termasuk ke dalam kelompok
Syi'ah Ismailiyyah.[40] Nama Babiyah dinisbatkan kepada Mirza ‘Ali Muhammad
al-Syirazi. Sedangkan Bahaiyah dinisbatkan kepada Bahaullah, gelar Mirza Husain
‘Ali.[41]
Tidak jauh
berbeda dengan kaum Bathiniyah, kelompok ini juga menggunakan metode takwil.
Contohnya bisa kita lihat ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 4.
?? ??? ???? ?????
?? ??? ??? ???? ??? ??? ????? ?????? ?????? ?????? ?? ??????
“Ketika Yusuf
berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, sungguh aku telah melihat (dalam
mimpiku) sebelas bintang, matahari, dan bulan. Mereka kulihat sama-sama
bersujud kepadaku.” (Q. S. Yusuf [12]: 4).
Menurut kelompok
Syi’ah Babiyah, yang dimaksud ‘Yusuf’ adalah Rasulullah dan Husain bin ‘Ali.
Sedangkan yang dimaksud ‘matahari’ adalah Fatimah, dan ‘bulan’ adalah Muhammad.
Adapun yang dimaksud ‘bintang’ adalah para Imam.
Dalam salah satu
kitabnya yang terkenal, yaitu kitab al-Aqdas, kita akan mendapatkan sejumlah
penakwilan mereka. Surga ditakwilkan sebagai kehidupan ruhaniah, dan neraka
adalah kematian ruhaniah. Kehidupan ruhaniah adalah iman kepadanya, sedangkan
kematian ruhaniah adalah dusta terhadap dakwahnya.[42]
Metode Tafsir
Syi’ah Zaidiyah
Kelompok Syi'ah
Zaidiyah adalah pengikut Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jika
dibandingkan dengan kelompok Syi'ah yang lain, kelompok Syi'ah ini lebih
moderat dan lebih dekat dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dari segi
pandangan keagamaan, kaum Zaidiyah banyak dipengaruhi oleh Mu'tazilah, karena
memang Imam Zaid pernah bertemu dengan Washil bin 'Atha,' pendiri aliran
Mu'tazilah.[43]
Karena lebih
dekat dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, maka metode penafsirannya pun banyak
menggunakan metode tafsir bi al-ma'tsur. Demikian pula, karena banyak
dipengaruhi pandangan Mu'tazilah, Syi'ah Zaidiyah juga tidak lepas dari metode
tafsir bi al-ra'yi. Bahkan dalam kitab tafsir Fathu al-Qadir, Imam al-Syaukani
sampai menyebutkan kitab tafsir al-Qurthubi dan tafsir al-Zamakhsyari sebagai
rujukan tafsirnya.[44]
Contohnya adalah
ketika Imam al-Syaukani menafsirkan surat Ali Imran ayat 169.
???????? ?????
????? ?? ???? ???? ?????? ?? ????? ??? ???? ??????
"Dan
janganlah kamu mengira, bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu
mati. Mereka itu tetap hidup di sisi Tuhannya, mereka itu mendapatkan
rizki." (Q. S. Ali Imran [3]: 169).
Dalam kitab
tafsirnya, Imam al-Syaukani mengemukakan, bahwa orang yang mati syahid hidup
secara hakiki, bukan secara majazi, dan mereka diberi rizki di sisi Tuhan
mereka. Pendapatnya ini, beliau dasarkan kepada pendapat jumhur ulama. Bahkan,
berdasarkan hadits Rasulullah saw. beliau mengatakan, bahwa ruh orang yang mati
syahid ada dalam rongga perut burung-burung hijau, mereka mendapatkan rizki,
dan mereka bersenang-senang.[45]
Itulah gambaran
metode tafsir beberapa kelompok Syi'ah, baik Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah,
Imamiyah Ismailiyyah (Bathiniyah), Babiyah dan Bahaiyah, maupun Syi'ah
Zaidiyah. Ada beberapa perbedaan yang penulis lihat dari empat kelompok Syi'ah
ini, dalam metode mereka menafsirkan al-Qur'an.
Syi'ah Imamiyah
Itsna 'Asyariyah lebih banyak memakai metode takwil. Di samping itu, mereka
juga memakai metode tafsir bi al-ma'tsur. Hal ini dapat dilihat dalam kitab
tafsir al-Shafi karya Imam al-Kasyi. Adapun Syi'ah Imamiyah Ismailiyah, atau
biasa disebut kaum Bathiniyah, walaupun sama memakai metode takwil, tetapi
cenderung arogan dan mengabaikan aturan-aturan takwil dalam khazanah 'Ulum
al-Qur'an. Di samping itu, kelompok Syi'ah ini tidak pernah memiliki satu pun
kitab tafsir. Penafsiran mereka tersebar di dalam kitab-kitab karangan ulama
mereka, yang tidak mengkhususkan diri sebagai kitab tafsir.
Sementara itu,
kaum Babiyah dan Bahaiyah tidak jauh berbeda dengan pendahulu mereka, yaitu
Syi'ah Imamiyah Ismailiyah. Kelompok Syi'ah ini juga memakai metode takwil
dalam penafsirannya. Takwil yang mereka pakai jauh lebih melenceng lagi dari
kaum Bathiniyah. Sampai-sampai Dr. Mahmud Basuni Faudah menyebut mereka sebagai
perkumpulan yang ingin menghancurkan Syari'at Islam.[46] Sehingga wajar saja
jika para ulama Mesir, Irak, dan Iran bersepakat mengkafirkan aliran Syi'ah
ini.[47]
Adapun Syi'ah
Zaidiyah cenderung lebih moderat. Dari segi ajaran, mereka lebih dekat dengan
Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sehingga dalam penafsiran terhadap al-Qur'an, mereka
memakai metode tafsir bi al-ma'tsur, yang banyak dipakai kaum Sunni. Pandangan
mereka juga tidak jauh berbeda dengan aliran Mu'tazilah. Dan tafsirnya pun
banyak memakai metode tafsir bi al-ra'yi, yang banyak dipakai oleh kalangan
Mu'tazilah, di samping memakai metode tafsir bi al-ma'tsur.
F. Kelebihan dan
Kekurangan Tafsir Syi’ah
Ada satu
kelebihan yang bisa kita tiru dari metode tafsir yang digunakan kelompok
Syi'ah. Dengan menggunakan metode takwil, kelompok Syi'ah lebih concern kepada
makna batin al-Qur'an. Walaupun harus diperhatikan, bahwa banyak takwil mereka
yang cenderung arogan. Hal ini berbeda dengan metode tafsir yang berkembang di
dunia Sunni, yang cenderung literal dan skriptualis. Sehingga penafsiran
al-Qur'an di dunia Sunni kurang memperhatikan weltanschaung al-Qur'an dan aspek
batin (esoteris) al-Qur'an, yang merupakan pesan al-Qur'an yang sebenarnya.[48]
Adapun kekurangan
tafsir Syi'ah, seperti yang dibicarakan di atas, penggunaan metode takwil
mereka cenderung arogan dan tidak mengindahkan aturan-aturan takwil dalam
khazanah 'Ulum al-Qur'an. Takwil yang mereka pakai hanya didasarkan pada
kepentingan mereka mencari justifikasi untuk mendukung pandangan madzhabnya.
Akibatnya, makna al-Qur'an sering mereka selewengkan demi kepentingan madzhab
mereka. Sehingga, alih-alih mereka mencari makna batin al-Qur'an, malah makna
al-Qur'an mereka selewengkan begitu jauh.
G. Penutup
Realitas apapun
yang terjadi dalam penafsiran al-Qur'an di kalangan Syi'ah, patut kita hargai,
bahwa kelompok ini telah memberikan sumbangan yang begitu besar dalam khazanah
tafsir al-Qur'an di dunia Islam. Setidaknya, kita bisa mengambil sesuatu yang
baik dari mereka untuk kita kembangkan, dalam rangka mencari metode yang sesuai
dalam menafsirkan al-Qur'an. Dan adapun ada metode mereka yang tidak sesuai
dengan kaidah-kaidah penafsiran yang selama ini kita kenal, bisa kita jadikan
cermin, supaya kita tidak terjerumus ke lubang yang sama. Bukankah Rasulullah
saw. telah mewasiatkan, khudz ma shafa wa da' ma kadar, ambillah sesuatu yang
baik dan tinggalkanlah sesuatu yang buruk? [*]