Rektor IAIN Sunan Ampel Prof Dr Abd A’la Surabaya.
Menurut A”la, jika Syiah dianggap sesat, maka sama artinya dengan tidak mengganggap negara Iran sebagai negara Islam. “Iran itu mayoritas Syiah dan dianggap negara Islam. Apa kita akan mengingkari hal itu?” ujarnya.
Memang terdapat banyak aliran dalam Syiah. Namun dari kacamata A”la, di dunia ini dia hanya mengakui satu aliran Syiah yang sesat, yaitu Syiah Ghulam. Sedangkan yang ada di Indonesia, kata A”la, bukanlah aliran Ghulam.
A”la juga minta ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak gampang melabeli sesat kepada aliran tertentu.
Selain itu, A”la juga minta seluruh tokoh masyarakat mampu menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Seorang tokoh yang hanya menebarkan kebencian untuk memaksakan suatu keyakinan merupakan tokoh yang tak mengetahui hakikat dari Islam itu sendiri.
A”la lantas menukil salah satu ayat dari surat Yunus ayat 99 yang berbunyi. “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi beriman semua?”
A”la juga minta pemerintah tak gegabah dalam merelokasi warga Syiah Sampang. “Relokasi malah akan menjadikan Syiah eksklusif dan ini malah bahaya,” ucapnya.
Konflik yang melibatkan Syiah, kata A”la, mayoritas bukan karena perbedaan keyakinan melainkan adanya faktor lain, seperti faktor politik maupun konflik keluarga. Dia mencontohkan terbunuhnya Husain bin Ali, serta peperangan antara Muawiyah dan ahlul bait yang semuanya bernuansa politik.
Oleh karena itu, konflik antara Syiah dan warga Sampang diduga juga bukan karena adanya perbedaan keyakinan. “Kan, sebentar lagi ada pilkada. Saya tidak bermaksud mengecilkan masalah, tapi faktor politik seringkali memicu,” tutur A’la.
Apalagi antara Syiah dan NU, kata A’la pula, sebenarnya memiliki banyak ritual yang sama. Ritual pujian ala NU, misalnya, adalah meniru ritual ala Syiah.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya menilai fatwa sesat aliran Syiah yang sudah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang dan diperkuat MUI Jawa Timur sebagai fatwa yang melanggar kaidah pemberian fatwa atau tidak sah.
Ketua FKUB Surabaya, Imam Ghozali Said, mengatakan fatwa sesat terhadap sebuah aliran dalam Islam hanya sah dan diakui bila dikeluarkan oleh MUI Pusat. “Kebijakan terkait agama hanya bisa diambil oleh MUI Pusat. Level provinsi, apalagi kabupaten, tidak boleh mengambil alih kebijakan ini,” kata Ghozali dalam keterangan pers di kantor FKUB, Jalan Menur Nomor 31 A Surabaya, Jumat, 31 Agustus 2012.
Ghozali mengatakan, Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 Tahun 2012 juga merupakan peraturan yang salah. Peraturan itu menegaskan bahwa aliran yang dianggap sesat oleh MUI Jawa Timur dilarang disebarkan di Jawa Timur. “Peraturan ini salah karena soal keyakinan juga hanya bisa diputuskan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Menteri Agama,” kata Ghozali.
Fatwa sesat MUI dan Peraturan Gubernur Jawa Timur yang salah inilah, menurut dia, juga menjadi bagian dari pemicu konflik berdarah yang terjadi di Sampang pada Ahad, 26 Agustus 2012 silam.
Sekedar diketahui pada 21 Januari 2012 silam, MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 yang menguatkan fatwa sesat aliran Syiah yang sebelumnya sudah dikeluarkan MUI Sampang. Fatwa dari MUI Jawa Timur ini selanjutnya ditindak lanjuti oleh Gubernur Soekarwo dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 55 Tahun 2012. Peraturan Gubernur yang ditandatangani Soekarwo pada 23 Juli 2012 itu setidaknya melarang aliran apapun yang telah dianggap sesat oleh MUI Jawa Timur
Mengenai konflik di Sampang sendiri, Ghozali menilai jika faktor intoleransi antara dua pemeluk keyakinan, yaitu Sunni dan Syiah, adalah pemicu utamanya. “Konflik keluarga itu hanya bumbu-bumbunya saja,” kata pengajar sejarah kebudayaan Islam di Institut Agama Islam Negeri Surabaya ini.
Pemerintah didesak segera memulihkan kondisi Sampang serta menjaga perbedaan faham yang terjadi di daerah itu sehingga tak lagi berujung konflik. Apalagi, konflik di antara dua aliran yang terjadi di Sampang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2004 silam.
Menurut jejak sejarah, persoalan Syiah sudah muncul sejak wafatnya Rasulullah pada tahun 632 Masehi atau pada tahun 10 Hijriah lalu. Sejak saat itu, konflik di antara dua aliran ini sudah banyak memakan korban. Karena itu, FKUB mendesak konflik di Sampang ini segera diredakan dengan cara pemberian jaminan keamanan di antara pemeluk keyakinan.
Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Abd A’la mengatakan konflik Syiah di Sampang, mayoritas bukan diakibatkan perbedaan keyakinan.
Rektor IAIN Sunan Ampel Prof Dr Abd A’la Surabaya.
“Ada faktor lain yang lebih dominan mempengaruhi, semisal faktor politik maupun konflik antarkeluarga. Contohnya, terbunuhnya Husain bin Ali, serta peperangan antara Muawiyah dan Ahlul Bait yang semuanya bernuansa politik,” katanya , Senin (27/8).
Pihaknya menegaskan, Syiah Sampang itu bukanlah aliran sesat. Pasalnya, masalah keyakinan Syiah itu sudah klir dan tidak sesat. Syiah dianggap sebagai bagian dari Islam, seperti halnya Sunni.
“Jika dianggap Syiah sesat, maka sama artinya dengan tidak mengganggap negara Iran sebagai negara Islam. Iran itu mayoritas Syiah dan dianggap negara Islam. Apa kita semua akan mengingkari hal itu,” ujarnya.
Memang ada banyak aliran dalam Syiah, namun dari pandangan dirinya, di dunia ini hanya mengakui satu aliran Syiah yang sesat yaitu Syiah Ghulam. Dan yang ada di Indonesia, katanya bukanlah aliran Ghulam.
Pihaknya juga meminta ormas islam seperti NU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak gampang memberi labe atau fatwa sesat kepada aliran tertentu.
Selain itu, pihaknya meminta seluruh tokoh masyarakat mampu menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Seorang tokoh yang hanya menebarkan kebencian untuk memaksakan suatu keyakinan, dinilai merupakan tokoh yang tak mengetahui hakikat dari Islam itu sendiri.
Hanya MUI Jawa Timur yang Teken Fatwa Syiah Sesat
Amidhan menjelaskan, MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa Syiah sesat pada 21 Januari lalu. Hal itu mengukuhkan fatwa-fatwa dari sejumlah MUI daerah, salah satunya Sampang. “Memang fatwa itu kami lokalisasi untuk daerah Madura dan Jawa Timur,” kata dia. MUI Pusat, lanjutnya, belum meneken fatwa karena masih mendalami banyak pertimbangan.Fatwa Syiah Imamiyyah Itsna”asyriyyah sesat dikeluarkan MUI Sampang setelah melihat perkembangan aliran tersebut, yang meresahkan masyarakat setempat. MUI setempat menilai aliran Syiah tidak pas hidup di Indonesia, khususnya Sampang. Keputusan itu dikukuhkan oleh Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia.
Menurut Amidhan, fatwa MUI Jawa Timur pasti sudah melewati banyak pertimbangan. MUI Pusat, menurutnya, hanya berharap fatwa tidak dijadikan dasar seseorang atau kelompok mana pun melakukan kekerasan. “Adanya fatwa tidak boleh jadi dasar kekerasan. Itu selalu kami sampaikan, termasuk saat mengeluarkan fakta soal Ahmadiyah,” ujarnya.
MUI Pusat Belum Keluarkan Fatwa Soal Syiah
Menurut dia, MUI memang sempat mengeluarkan pernyataan tentang aliran Syiah pada awal 1980-an lalu. Saat itu, diktum dari MUI berisikan bahwa masyarakat mewaspadai aliran Islam tersebut. “Intinya mewaspadai, karena antara Syiah dan Sunni ada perbedaan yang cukup tajam,” ujar Amidhan.Ia menjelaskan, munculnya diktum MUI tersebut disebabkan aliran Syiah saat itu sudah merambah ke remaja dan pemuda di Malaysia. “Kemudian secara perlahan masuk ke Indonesia, sehingga waktu itu diminta untuk diwaspadai,” ucapnya.
Permintaan waspada dari MUI saat itu dilatarbelakangi oleh pendapat para ulama yang mengatakan bahwa aliran Syiah merupakan aliran di luar Islam. “Tapi fakta menunjukkan bahwa mereka (Syiah) mempunyai kekuatan yang cukup besar di Iran, Irak, dan negara Timur Tengah lainnya,” kata Amidhan.
Sementara saat ini, Amidhan melanjutkan, perkembangan aliran Syiah di Indonesia sudah sangat luar biasa. “Itu yang mungkin meresahkan (masyarakat), terutama di Madura,” ujar dia.
selengkapnya.