Selamat Datang di Blog Langit Biru Pembaharu, semoga Kunjungan Anda Bermanfaat

PROBLEMETIKA PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH (SUATU PENGANTAR)


Oleh : M. Rizal Zakaria,S.HI
Penghulu KUA Wates
 Persoalan hisab rukyah pada hakikatya tidak hanya bertumpu pada persoalan penentuan awal bulan Qomariyah, namun karena persoalan itu lebih berpotensi menimbulkan perbedaan maka wajar jika persoalan itu jauh lebih mendapatkan perhatian daripada masalah-masalah lainnya. Sedangkan ilmu falak sendiri adalah ilmu yang dinamis yang selalu berkembang dari masa ke masa, hal itu dibuktikan dengan lahirnya sistem perhitungan yang akurasinya mendekati titik kebenaran. Secara umum, dalam ilmu falaq, sistem hisab yang berkembang itu diklasifikasikan kepada tiga kategori, yakni :

Pertama, TaqriֿBiy, Sistem ini mendasarkan perhitungannya pada daftar ephimerish yang disusun oleh Ulugh Beyk (W. 854) seorang ahli Astronomi asal Iskandaria, yang kemudian dipertajam dengan beberapa koreksi yang sederhana, dalam menghitung ketinggian bulan saat terbenam matahari sesudah ijtima’. Sistem ini hanya membagi dua selisih waktu antara saat ijtima’ dan saat terbenam matahari, sehingga produk yang dihasilkan pun bersifat “kurang lebih”. Sistem ini merujuk kepada kitab Sullamunnayyiraini karya KH. Muhamad Mansur bin Abdul Hamid. (Abd. Salam Nawawi, Ilmu Falak, (Sidoarjo: Aqaba, 2007), 3-4)
Kedua, TahqiֿQiy, Sistem ini secara umum sama dengan taqriֿbiy, akan tetapi unsur-unsur koreksinya lebih banyak serta dalam menghitung ketinggian bulan saat ijtima’, sistem ini menggunakan rumus ilmu ukur segitiga bola/ trigonometri, sehingga hasilnya lebih akurat. Sistem ini digunakan antara lain dalam kitab Al-Khulasah al-Wafiyah karya K.H. Zubair Umar al-Jailani
Ketiga, Kontemporer, Sistem ini disamping menggunakan rumus segitiga bola dan koreksi yang akurat, juga mengacu kepada data kontemporer, yaitu data yang selalu dikoreksi dengan temuan-temuan terbaru
Adapun muara perbedaan pemikiran hisab rukyah di Indonesia tidak berbeda dengan muara perbedaan pemikiran fuqoha terdahulu, yakni pada perbedaan pemahaman terhadap hadis - hadis yang berkaitan dengan hisab rukyah. Hanya saja, dalam wacana pemikiran hisab rukyah di Indonsia, ragam pemikirannya lebih majemuk dibandingkan dengan ragam pemikiran dalam wacana hisab rukyah di kalangan para fuqoha terdahulu. Hal ini karena sentuhan-sentuhan Islam sebagai great tradition dan budaya lokal atau little tradition yang sering menimbulkan corak budaya baru di luar dugaan. Dalam konteks ini disebut dengan paham ke-Islaman yang bersifat lokal, seperti Islam Jawa. Fenomena semacam inilah yang akan melahirkan pemikiran tersendiri dalam pemikiran hisab rukyah seperti pemikiran hisab rukyah asapon (Asapon adalah sistem penanggalan jawa yang berdasarkan pada prinsip awal tahunnya jatuh pada hari alip-selasa-pon dan sampai sekarang masih belaku di aliran Islam Kejawen di Kraton Yogyakarta. (baca : Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Buana Pustaka, 2004, hal 120. Susiknan Azhari, Ibnor Azli Ibrahim, “Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i,” dalam  Jurnal Asy-Syir’ah, No. I, Vol. 42, tahun 2008, hal 141) dan aboge  yang masih berlaku secara  turun-temurun serta masih dipercayai oleh beberapa komunitas - komunitas tertentu sehingga penentuan 1 Ramadhan dan Syawal sering terjadi perbedaan.
Interpretasi hadist ini lah yang sampai sekarang memunculkan berbagai macam aliran-aliran, baik aliran hisab, aliran rukyah, maupun aliran imkanurrukyah.
Munculnya aliran-aliran tersebut dikarenakan perbedaan interpretasi terhadap hadis Rosulullah SAW yang berbunyi :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Artinya : Rosulullah SAW berkta: satu bulan itu 29 hari, maka apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Kemudian apabila kalian melihatnya, maka berbukalah, namun apabila tertutup mendung, maka kira-kirakanlah.(HR. Muslim)

Perbedaan tersebut memunculan madzhab rukyah yang berpendapat terhadap hadis diatas bahwa penentuan awal bulan harus didasarkan kepada rukyah atau melihat hilal pada tanggal 29 nya, apabila rukyah tidak dapat dilakukan karena terhalang oleh mendung, maka penentuan awal bulan harus berdasarkan istikmal (menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari). Menurut madzhab ini, rukyah sebagaimana disebutkan dalam hadis diatas bersifat ta’abudi – ghair al-ma’qul ma’na, Maksudnya interpretasi term rukyah itu tidak dapat dirasionalisasikan, tidak dapat dikembangkan dan diperluas, sehingga pengertianya hanya sebatas melihat dengan mata telanjang.  Sedangkan, madzhab hisab memahami bahwa hadis tersebut bersifat ta’aquli – ma’qul ma’na, Artiya bahwa hadist tersebut dapat dirasionalisasikan, diperluas dan dikembangkan sehingga dapat diartikan dengan ‘mengetahui’ yang bersifat dzanni / dugaan yang kuat tentang adanya hilal, kendatipun tidak dapat dilihat. Sedangkan dalam hal apabila hilal tidak tampak karena tertutup mendung tebal, maka menurut madzhab hisab ini, jalan keluarnya bukanlah istikmal, akan tetapi kata “faqduru lahu” dalam hadis harus diartikan dengan “fa udduhu bil hisab” hitunglah berdasarkan hisab.
Disamping itu, Al-Qalyubi mengartikan rukyah dalam hadis diatas sebagai imkanurrukyah, Yaitu posisi hilal dapat dilihat. Sebagaimana yang dianut oleh pemerintah Indonesia dalam rangka rekonsiliasi madzhab hisab dan madzhab rukyah Indonesia.  Sehingga yang dimaksud dengan rukyah adalah segala hal yang dapat memberikan dugaan yang kuat bahwa hilal telah ada diatas ufuk dan mungkin dapat dilihat.
Disamping itu, terdapat beberapa aliran dalam menetapkan awal bulan qomariah dengan menggunakan sistem hisab hakiki.
Paling tidak, ada dua aliran besar. Pertama, aliran yang berpegang pada Ijtimak yaitu suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun barat. Sebenarnya bila diteliti, ternyata jarak antara kedua benda planet itu berkisar sekitar 50 derajat. Dalam keadaan ijtimak pada hakikatnya masih ada bagian bulan yang mendapat pantulan dari matahari, yaitu bagian yang menghadap bumi. Namun kadangkala, karena tipisnya, hal ini tidak dapat dilihat dari bumi, karena bulan yang sedang ijtimak itu “berdekatan” letaknya dengan matahari. Kondisi ini dipengaruhi oleh peredaran masing-masing planet pada orbitnya. Bumi dan bulan beredar pada porosnya dari arah barat ke arah timur. (Perhatikan Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 2, 1997, h. 676). Karena jarang sekali ditemukan yang secara murni memegang kriteria ini, maka saat menentukan awal bulan qomariyah, aliran ini biasanya memadukan dengan fenomena yang terjadi, sehingga muncullah sub-sub aliran yang merupakan pengembangan darinya. yaitu (1) Ijtima' qabla al-Ghurub, Aliran ini mengkaitkan saat ijtima’ dengan saat terbenam matahari, jika ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari, maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru, sedangkan apabila setelah terbenam matahari, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan qomariyah yang sedang berlangsung tanpa mempertimbangkan rukyah dan posisi hilal diatas ufuk. Dalam  menetapkan bahwa pergantian hari atau tanggal terjadi pada saat terbenam matahari. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surah Yasin ayat 40. Para ahli hisab memahami bahwa ungkapan wa la al-Laylu sabiqu an-Nahar menunjukkan bahwa permulaan hari atau tanggal adalah saat terbenam matahari, yakni saat bergantinya siang menjadi malam. Pendapat para ahli hisab ini diperkuat juga dengan praktek rukyah yang dilakukan oleh para Sahabat pada masa Rasulullah SAW. Mereka melakukan rukyah pada saat menjelang terbenam matahari. Ini menunjukkan bahwa pergantian hari atau tanggal adalah pada saat terbenam matahari. (Lihat Tim Majelis Tarjih. Fatwa Agama, dalam Suara Muhammadiyah, No. 23. Tahun ke 81 tangal 1-15 Des 1996 hal 22). (2) Ijtima' qabla al-Fajr, Kriteria aliran ini adalah apabila ijtima’ terjadi sebelum terbitnya fajar, maka sejak terbit fajar itu termasuk bulan baru dan apabila ijtima’ terjadi setelah terbitnya fajar, maka hari sesudah terbit fajar itu masih terasuk hari terakhir dari bulan yang sedag berlangsung. Kelompok ini memahami bahwa ijtima’ tidak ada sangkut pautnya denagn terbenam matahari. (3) Ijtima' dan Tengah Malam, Kriteria menurut aliran ini adalah apabila ijtima’ terjadi sebelum tengah malam, maka mulai tengah malam itu sudah termasuk bulan baru, sedangkan apabila ijtima’ terjadi sesudah tengah malam, maka malam itu masih termasuk dalam bulan qomariyah yang sedang berlangsung dan awal bulan ditetapkan mulai tengah malam pada hari berikutnya.
Kedua, aliran yang berpegang pada ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk, Kriteria yang digunakan oleh aliran ini dalam menentukan awal bulan qomariyah adalah awal bulan qomariyah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan hilal sudah berada diatas ufuk pada saat matahari terbenam. Aliran ini terbagi kedalam beberapa sub-sub aliran, yaitu (a) Ijtimak dan Ufuk Hakiki, Yang dimaksud ufuk hakiki (true horizon) adalah lingkaran bola langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertical dari si peninjau. Menurut aliran ini, awal bulan qomariyah dimulai saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah berada diatas ufuk hakiki. (b) Ijtimak dan Ufuk Hissi, yang dimaksud dengan ufuk hissi atau yang dikenal dengan Horizon semu atau sensible horizon adalah lingkaran pada bola langit yang bidangnya melalui permukaan bumi tempat si pengamat dan tegak lurus pada garis vertical dari si pengamat tersebut.  Bidang ufuk hissi ini sejajar dengan ufuk hakiki, sedangkan yang membedakan antara keduanya terletak pada parrallaks yaitu perbedaan arah suatu benda langit dipandang dari titik pusat bumi dan dari tempat pengamat dipermukaaan bumi. Menurut aliran ini, dalam menetapkan awal bulan qomariyah dimulai pada saat terbenamnya matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah berada diatas ufuk hissi. (c) Ijtimak dan Imkanurrukyah, Menurut aliran ini, awal bulan qomariyah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal dimungkinkan untuk dapat dilihat, sehingga diharapkan awal bulan qomariyah dihitung sesuai dengan penampakan hilal sesungguhnya. Jadi, yang menjadi acuan adalah penentuan kriteria visibilitas hilal untuk dapat dirukyah. (Susiknan Azhari. Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet. Ke-I, 2005), 106-107.
Di lain pihak, sidang istbat yang dilakukan oleh pemerintah tentang jatuhnya 1 Syawal merupakan suatu kegiatan yang selalu dilakukan oleh pemerintah dari tahun ke tahun, karena tanggal 1 Syawal itu sangat dinantikan oleh umat muslim di seluruh penjuru tanah air. Pada tanggal tersebut umat muslim di Indonesia melaksanakan sholat idhul fitri sebagai salah satu ibadah mahdhoh yang harus dilakukan dan merupakan suatu titik kulminasi berakhirnya bulan suci Ramadhan.
Dalam hal menentukan awal ramadhan serta hari raya, Rosulullah SAW memerintahkan kita untuk mengikuti ketentuan pemerintah, sebagaimana sabda Rosulullah SAW yang berbunyi :
 أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَخْنَسِيِّ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ  (رواه ترمذي)
Artinya : “Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fitri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi)

Imam Tirmidzi menilai bahwa hadits ini hasan ghorib. Kemudian beliau mengatakan, sebagian para ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan bahwa maksud hadits ini adalah puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah yaitu pemerintahan kaum muslimin dan mayoritas manusia (masyarakat).
Dengan kata lain, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, berhak menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah dan mengakhiri berbagai perbedaan. Berdasarkan hukum  positif di Indonesia, penetapan ini tidak berada di tangan Mahkamah Agung sebagaimana berlaku di negara-negara Islam, tetapi, merupakan wewenang Kementrian Agama berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1946 No.2/Um.7/Um.9/Um jo Keputusan Presiden No.25 Tahun 1967, No.148 Tahun 1968 dan No.10 Tahun 1971.
Munculnya perbedaan pendapat seperti yang dipaparkan diatas sangat rentan memunculkan konflik horizontal sesama umat Islam yang didasari oleh fanatisme golongan yang berlebihan, sehingga perlu adanya campur tangan  pemerintah, khususnya Kementrian Agama RI untuk berperan serta secara langsung dalam menengahi permasalahan perbedaan penetapan awal bulan syawal sehingga tercipta kestabilan nasional dan kerukunan hidup antar sesama umat beragama.
Pemerintah pada dasarnya telah berusaha menengahi konflik antara aliran hisab dan aliran rukyah yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dengan memunculkan aliran baru yang mampu untuk menyatukan keduanya yaitu dengan aliran imkanurru‘yah, namun, dalam tataran praktis sering terbawa oleh iklim politik pemerintahan sehingga munculnya aliran tersebut bukan menjadi solusi kesatuan dalam beribadah tetapi semakin membingungkan dan memperkeruh suasana.
Perbedaan ini muncul dalam penetapan awal-akhir Ramadhan, walaupun pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama RI telah memfasilitasi untuk penyatuan keputusan awal-akhir Ramadhan dalam bentuk sidang iśbat yang diikuti oleh semua pihak yang terkait, namun, dari masing-masing ormas tersebut masih mengeluarkan keputusannya dengan berbagai macam istilah masing-masing, baik dengan bahasa istruksi maupun ikhbar.
Menurut cendekiawan muslim Nurcholis Majid, NU dan Muhammadiyah sebagai simbol aliran hisab dan aliran rukyah, merupakan dua sayap garuda Pancasila Indonesia yang harus dikompromikan jika ingin menjadi negara yang besar.
Suatu langkah kompromi yang dapat dilakukan oleh pemerintah di era sekarang ini adalah membuat suatu langkah konkret yang obyektif persuasive. Disamping itu, dalam mengambil kebijakan penetapan awal-akhir Ramadhan harus aspiratif dengan mengambil standarisasi dasar hukum penetapan yang objektif ilmiah, sehingga tidak ada istilah condong atau keberpihakan kepada dasar penetapan yang dipakai oleh siapa yang sedang berkuasa atau dari ormas mana yang menjabat sebagai Menteri Agama RI. Karena keputusan pemerintah tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Sehingga, apabila pemerintah telah menetapkan awal bulan baik berdasarkan hisab dan ataupun penetapannya berdasarkan laporan kesaksian rukyah, maka seluruh masyarakat Indonesia harus mematuhinya.
 
Support : Music Live | Timur Belambangan | Blogger Tips
Copyright © 2013. LANGIT BIRU PEMBAHARU - izal_zakaria All Rights Reserved
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger