Ada beberapa informasi yang
menyatakan bahwa Islam sudah masuk ke Pulau Bali pada abad ke-15 M. Ini
dibuktikan pada saat Dalem Ketut Ngelesir menjabat sebagai Raja Gelgel pertama
(1380—1460 M) dan mengadakan kunjungan ke keraton Majapahit. Saat itu, Raja Hayam
Wuruk mengadakan pertemuan kerajaan seluruh Nusantara. Setelah acara tersebut
selesai, Dalem Ketut Ngelesir pulang ke negerinya (Bali) dengan diantar oleh
empat puluh orang dari Majapahit sebagai pengiring, yang konon diantara mereka
terdapat Raden Modin dan Kiai Abdul Jalil. Peristiwa ini dijadikan patokan
masuknya Islam di Pulau Bali yang berpusat di kerajaan Gelgel. Sejak itu, agama
Islam mulai berkembang di Bali dan terus demikian hingga saat ini.
Demikian juga terdapat makam para
Da’i, ulama dan pemuka Islam yang pada masa hidupnya dikaruniai Allah Swt karomah,
sehingga makam-makam mereka juga dihormati, oleh ummat Islam khususnya maupun
juga orang-orang Bali yang mayoritas beragama Hindu. Dari sekian banyak makam
auliya’ di Bali, ada tujuh makam yang sangat menonjol yang terkenal dengan Sab’atul
Auliya’ (baca: wali pitu/tujuh wali). Diantara wali pitu tersebut
adalah :
1. Keramat Pantai Seseh (Pangeran
Mas Sepuh)
Pangeran Mas Sepuh merupakan gelar.
Nama sebenarnya adalah Raden Amangkuningrat, yang terkenal dengan nama Keramat
Pantai Seseh. Ia merupakan Putra Raja Mengwi I yang beragama Hindu dan ibunya
berasal dari Blambangan (Jatim) yang beragama Islam. Sewaktu kecil, beliau
sudah berpisah dengan ayahandanya dan diasuh oleh ibundanya di Blambangan.
Setelah dewasa, Pangeran Mas Sepuh menanyakan kepada ibunya tentang ayahandanya
itu. Setelah Pangeran Mas Sepuh mengetahui jati dirinya, ia memohon izin pada
ibunya untuk mencari ayah kandungnya, dengan niat akan mengabdikan diri. Semula,
sang ibu keberatan, namun akhirnya diizinkan juga Pangeran Mas Sepuh untuk
berangkat ke Bali dengan diiringi oleh beberapa punggawa kerajaan sebagai
pengawal dan dibekali sebilah keris pusaka yang berasal dari Kerajaan Mengwi.
Setelah bertemu dengan ayahnya,
terjadilah kesalahpahaman karena baru sekali ini mereka berdua bertemu.
Akhirnya, Pangeran Mas Sepuh beranjak pulang ke Blambangan untuk memberi tahu
ibunya tentang peristiwa yang telah terjadi. Dalam perjalanan pulang,
sesampainya di Pantai Seseh, Pangeran Mas Sepuh diserang oleh sekelompok orang
bersenjata tak dikenal sehingga pertempuran tak dapat dihindari. Melihat korban
berjatuhan yang tidak sedikit dari kedua belah pihak, keris pusaka milik
Pangeran Mas Sepuh dicabut dan diacungkan ke atas dan seketika itu ujung keris
mengeluarkan sinar dan terjadilah keajaiban, kelompok bersenjata yang menyerang
tersebut mendadak lumpuh, bersimpuh diam seribu bahasa. Setelah mengetahui hal
tersebut, Pangeran Mas Sepuh berkata, “Hai, Ki Sanak! mengapa kalian menyerang
kami dan apa kesalahan kami?” Mereka diam tak menjawab. Akhirnya diketahui
bahwa penyerang itu masih memiliki hubungan kekeluargaan, dilihat dari pakaian
dan juga dari pandangan batiniah Pangeran Mas Sepuh. Akhirnya, keris pusaka
dimasukkan kembali ke dalam karangkanya dan kelompok penyerang tersebut dapat
bergerak kemudian memberi hormat kepada Pangeran Mas Sepuh. Tidak lama setelah
kejadian tersebut, Pangeran Mas Sepuh meninggal dunia dan dimakamkan di tempat
itu juga. Sampai sekarang, makamnya terpelihara dengan baik dan selalu
diziarahi oleh umat Islam dari berbagai wilayah di Nusantara.
Proses ditemukannya Makam Keramat
Pantai Seseh dimulai sejak Jamaah Manaqib yang ada di Bali mendapat petunjuk,
yaitu pada bulan Muharam 1413 H atau 1992 M yang kemudian ditemukan juga makam
keramat yang lain.
Makam ini terletak di Pantai Seseh,
Desa Munggu Mengwi, Kabupaten Badung (berdampingan dengan Candi Pura Agung di
Tanah Lot). Jarak antara Pantai Seseh dan Jalan Raya Tabanan—Denpasar ± 15
km. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya juga dihormati oleh
umat Hindu. Juru kuncinya bahkan seorang pendeta Hindu.
2. Keramat Pamecutan
Makam Dewi Khodijah terkenal dengan
Keramat Pemecutan. Makam ini terletak di Jalan Batukaru arah ke Perumnas Monang
Maning Denpasar.
Dewi Khodijah ini adalah nama
setelah beliau berikrar masuk agama Islam. Nama aslinya adalah Ratu Ayu Anak
Agung Rai. Beliau adalah adik Raja Pemecutan Cokorda III yang bergelar Bathara
Sakti yang memerintah sekitar tahun 1653 M.
Pada waktu Raja Pamecutan tengah
berperang, salah seorang prajurit dapat menahan seorang pengelana di Desa
Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Orang yang ditahan tersebut
diduga menjadi telik sandi atau mata-mata musuh. Ia lalu dihadapkan kepada Raja
Pamecutan untuk diusut. Akhirnya diketahui bahwa dia adalah seorang senopati
dari Mataram yang sedang berlayar menuju Ampenan, Lombok, namun perahu yang
ditumpanginya diserang badai dahsyat yang membuat senopati Mataram tersebut
terdampar di pantai selatan Desa Tuban. Beliau bernama Pangeran Mas Raden
Ngabei Sosrodiningrat, sedangkan para pengiring atau punggawanya sebanyak 11
orang tiada kabar beritanya.
Setelah diketahui bahwa tawanan
tersebut adalah seorang senopati dari Mataram, Raja Pamecutan meminta
kesediaannya untuk memimpin prajurit yang sedang berperang. Raja Pamecutan
menjanjikan, apabila perang telah usai dan kemenangan diraihnya, Pangeran
Sosrodiningrat akan dinikahkan dengan adik Raja Pamecutan. Akhirnya Pangeran
Sosrodiningrat bersedia membantu untuk memperkuat pasukan yang ada di medan
perang tanpa memikirkan janji raja. Dia malah berpikir apakah mungkin dapat
menikah dengan seorang putri yang beragama Hindu, sedangkan dirinya beragama
Islam. Setelah perang tersebut dimenangkan oleh pasukan Kerajaan Pamecutan,
Pangeran Sosrodiningrat menikah dengan Ratu Ayu Anak Agung Rai (Dewi
Khodijah). Setelah dipersunting oleh Mas Raden Ngabei Sosrodiningrat, Ratu
Ayu Anak Agung Rai memeluk Islam dan bersungguh-sungguh menekuni dan
melaksanakan ajarannya.
Setelah beberapa tahun, musibah
datang menimpanya. Pada suatu malam yang gelap, sewaktu Dewi Khodijah
mengerjakan shalat malam di kamar yang pintunya terbuka, secara tidak sengaja
ia terlihat oleh punggawa raja yang sedang berjaga dan terdengar suara takbir
“Allahu Akbar”. Yang didengar oleh punggawa bukanlah kalimat “Allahu Akbar”,
melainkan “makeber” yang dalam bahasa Bali berarti “terbang”. Sang
punggawa memperhatikan semua gerakan shalat yang dilakukan oleh Dewi Khodijah
yang dinilai olehnya sebagai pekerjaan leak (orang jadi-jadian
yang berbuat jahat). Sang punggawa langsung melaporkan kepada raja tentang
keberadaan leak di kamar keputren. Raja akhirnya memerintahkan
beberapa punggawa untuk mendatanginya. Saat melihat Dewi Khodijah sedang sujud,
tanpa memikirkan risiko, para punggawa menyerbu dengan senjata terhunus dan
menghujamkannya ke punggung Dewi Khodijah. Darah segar tersembur ke atas dari
punggung Dewi Khodijah yang terkena ujung tombak. Bersamaan dengan itu,
terjadilah keanehan yang luar biasa, darah segar Dewi Khodijah yang keluar dari
punggungnya mengeluarkan cahaya terang kebiru-biruan dan dapat menembus dinding
atap atas hingga keluar memenuhi udara dan memancarkan sinar yang menerangi
istana Pamecutan. Seluruh kota Denpasar bahkan menjadi terang-benderang seperti
siang hari. Semua penduduk terutama keluarga istana sangat terkejut, termasuk
Raja Pamecutan. Bersamaan dengan itu, para punggawa melaporkan bahwa yang
dibunuh bukan leak, melainkan orang biasa dan mengeluarkan darah.
Saat itu, terdengar jeritan dengan ucapan “Allahu Akbar” hingga tiga kali.
Jenazah Dewi Khodijah yang
tertelungkup dengan tombak terhujam di punggungnya sulit diangkat dan
dibujurkan. Tubuhnya bermandikan darah yang sudah membeku. Keluarga kerajaan
yang ingin menolong mengangkatnya tidak dapat berbuat apa-apa. Jenazahnya tetap
sujud tidak berubah. Baginda mencari bantuan kepada umat Islam yang ada di sana
agar mau merawat jenazah adiknya menurut cara Islam. Umat Islam lalu segera
membantu merawat jenazah, mulai dari memandikan, mengafani, menshalati, sampai
memakamkannya dan semuanya berjalan lancar. Meski demikian, satu hal yang tak
dapat diatasi yaitu batang tombak yang menghujam di punggungnya tidak dapat
dicabut. Akhirnya, atas keputusan semua pihak, jenazah dimakamkan bersama
tombak yang masih berada di punggungnya. Anehnya, batang tombak yang terbuat
dari kayu itu bersemi dan hidup sampai sekarang. Hal tersebut dapat dibuktikan
apabila Anda berkunjung ke makam Dewi Khodijah.
3. Habib Ali bin Umar bin Abu
Bakar Bafaqih.
Makam Habib Ali bin Umar bin Abu
Bakar Bafaqih ini terletak di Jl. Semangka Loloan Barat Kec. Negara, Kab.
Jembrana, Bali.
Meninggal pada tanggal 27 Februari
1998 M di Loloan Barat Jembrana dalam usia 100 tahun lebih. Chabib Ali Bafaqih
pendiri pondok Syamsul Huda semasa hidupnya dalam menjalankan syiar Islam telah
menunjukkan menjadi hamba Allah pilihan, banyak yang menyaksikan waktu beliau
mengisi di suatu majelis, tetapi ada orang yang melihat beliau mengisi di
majelis di tempat lain di hari yang sama.
4. Keramat di Bukit Bedugul (Habib
Umar bin Yusuf al-Maghribi)
Makam ini terletak di bukit Bedugul, Kabupaten Tabanan, Bali. Makam ini hanya berwujud empat batu nisan untuk dua makam, yaitu makam Habib Umar dan pengikutnya yang luasnya 4×4 M.
Makam ini terletak di bukit Bedugul, Kabupaten Tabanan, Bali. Makam ini hanya berwujud empat batu nisan untuk dua makam, yaitu makam Habib Umar dan pengikutnya yang luasnya 4×4 M.
Makam ini sebenarnya sudah lama ada,
namun menurut keterangan dari beberapa tokoh masyarakat setempat baru saja
ditemukan sekitar 40—50 tahun berselang oleh seorang yang mencari kayu bakar di
bukit Bedugul tersebut.
5. Keramat Kusumba, Klungkung (Habib
Ali bin Abu Bakar al-Hamid)
Makam ini terletak di tepi pantai Desa Kusamba, Kecamatan Dawah, Kabupaten Klungkung, Bali. Makam ini sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat, baik umat Islam maupun Hindu.
Makam ini terletak di tepi pantai Desa Kusamba, Kecamatan Dawah, Kabupaten Klungkung, Bali. Makam ini sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat, baik umat Islam maupun Hindu.
Makam keramat ini terletak tidak
jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan Pulau Nusa
Penida. Desa Kusamba berada di jalan raya antara Klungkung dan Karangasem
(Amlapura), dekat dengan Goalawah. Di depan makam dibangun patung seorang
tokoh berserban dan berjubah menunggang kuda.
Sewaktu hidupnya, Habib Ali bin Abu
Bakar al-Hamid menjadi guru bahasa Melayu Raja Klungkung saat itu, Dalem I Dewa
Agung Jambe. Waktu itu, beliau diberi seekor kuda untuk kendaraan pulang pergi
antara Kusamba dan Klungkung.
Pada suatu hari, sewaktu Habib Ali
pulang dari Klungkung dan sesampainya di pantai Desa Kusamba, beliau diserang
oleh sekelompok orang yang tidak dikenal dengan senjata tajam secara bertubi-tubi.
Habib Ali yang masih berada di atas kudanya tewas tersungkur di tanah
bermandikan darah. Akhirnya, jenazah Habib Ali dimakamkan di di ujung barat
pekuburan desa Kusamba.
Pada malam hari setelah pembunuhan
tersebut, terjadilah peristiwa yang sangat menggemparkan. Bagian atas makam
Habib Ali al-Hamid mengeluarkan api yang berkobar-kobar membumbung ke angkasa.
Semburan api tersebut bergulung-gulung bagaikan bola api dan terbang untuk
mengejar sang pembunuh. Di mana mereka bersembunyi, kobaran api terus mengejarnya
sampai dapat membakar mereka satu persatu. Tak seorang pun dari pembunuh itu
yang tersisa.
Silsilah dari Habib Ali adalah:
Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar bin Salim bin Hamid bin Aqil bin
Muthohar bin Umar bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman
as-Saqaf bin Ali bin Alwi bin Khalaq Qasam bin Muhammad Shahibil Mirbath bin
Ali bin Muhammad Faqih al-Muqadam bin Abdullah bin Ahmad bin Isa al-Bashari bin
Muhammad al-Muhajir bin Muhammad Naqib bin Ali al-Aridlhi bin Ja’far Shadiq bin
M. Bakir bin Ali Zaenal Abidin bin Husain bin Ali r.a. suami Fatimah az-Zahra’
binti Rasulullah SAW.
6. Keramat Kembar Karangasem
(Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi dan Ali bin Zaenal Abidin al-Idrus)
Makam Keramat Kembar Karangasem
terletak di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten.
Karangasem(Amlapura), Bali. Makam keramat tersebut berada tidak jauh dari
Jalan Raya Subangan arah ke utara, jalan tembus menuju ke Singaraja dari Desa Temukus.
Dari Singaraja berjarak ± 6—7 km.
Di dalam satu cungkup makam kembar
tersebut terdapat makam tua/kuno berjajar dengan makam Ali bin Zainal Abidin
al-Idrus. Menurut masyarakat, makam kuno inilah yang dikeramatkan sejak zaman
dahulu. Makam ini diperkirakan berusia 350—400 tahun. Adapun mengenai nama,
sejarah, dan dari mana asalnya, tidak satu pun yang tahu, bahkan juru kuncinya
pun tidak tahu. Sebagian kalangan menyebutkna bahwa makam ini adalah makam
dari Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi.
Pada tahun 1963 M, Gunung Agung
meletus dan mengeluarkan lahar panas, menyemburkan batu besar dan kecil serta
abu yang menjulang tinggi di angkasa, menyebar ke seluruh Pulau Bali, bahkan
sampai ke wilayah Jawa Timur. Cuaca menjadi gelap gulita, siang hari berubah
menjadi gelap pekat, lampu mobil yang terang yang biasa digunakan untuk jarak
jauh tidak dapat menembus kepekatan hujan abu tersebut. Ini menunjukkan betapa
hebat dan dahsyatnya letusan dan semburan yang dimuntahkan oleh Gunung Agung.
Sebagian desa porak poranda, banyak rumah roboh, pohon-pohon besar banyak yang
tumbang, hujan pasir dan batu kerikil telah menggenangi pulau Bali. Uniknya,
Makam Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi yang di atasnya tertumpuk susunan batu
merah yang ditata begitu saja tidak diperkuat dengan semen pasir dan kapur,
tidak berubah sedikit pun, bahkan tidak sebutir pasir pun yang mampu
menyentuhnya.
Adapun Habib Ali Zainal Abidin
al-Idrus (wafat pada 9 Ramadhan 1493 H/19 Juni 1982) dikenal sebagai ulama
besar yang arif bijaksana. Semasa hidupnya, banyak santri yang mengaji
kepadanya. Mereka tidak hanya berasal dari beberapa daerah di Bali, tetapi juga
dari Lombok dan sekitarnya. Semasa hidupnya, ia menjadi juru kunci makam
kuno itu dan setelah wafat, beliau dimakamkan di samping makan kuno tersebut.
7. Keramat Karang Rupit (Syekh Abdul
Qadir Muhammad)
Makam Keramat Karang Rupit terletak
di Desa Temukus (Labuan Aji), Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Singaraja,
Bali. Makam tersebut berada di tepi Jalan Raya Seririt. Jarak dari Singaraja
± 15 km.
Makam keramat ini adalah makam dari
Syekh Abdul Qadir Muhammad yang memiliki nama asli The Kwan Lie atau The Kwan
Pao-Lie. Penduduk setempat menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit.
Semasa remaja,
beliau adalah murid Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Para
peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu
terakhir (Rabu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing menggelar upacara
menurut keyakinan masing-masing.
***
Berikut mereka yang disebut Wali
Pitu:
1. Pangeran Mas Sepuh alias Raden
Amangkuningrat
2. Habib Umar Maulana Yusuf
3. Habib Ali Bin Abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid
4. Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al Idrus
5. Syeh Maulana yusuf Al Magribi
6. Habib Ali Bin Umar Bafaqih
7. Syeh Abdul Qodir Muhammad
2. Habib Umar Maulana Yusuf
3. Habib Ali Bin Abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid
4. Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al Idrus
5. Syeh Maulana yusuf Al Magribi
6. Habib Ali Bin Umar Bafaqih
7. Syeh Abdul Qodir Muhammad
*Diambil dari berbagai sumber