Selamat Datang di Blog Langit Biru Pembaharu, semoga Kunjungan Anda Bermanfaat

Hukum Menikahi Wanita HAmil Karena Zina

A.    Latar Belakang
Pergaulan bebas antara muda mudi seperti yang terjadi sekarang ini seringkali membawa kepada hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagai contoh terjadinya kehamilan sebelum sempat dilakukan pernikahan, atau lebih dikenal dengan marriage by accident atau dalam istilah LKMD (jawa : lamar keri meteng disek (melamar balakangan tapi hamil dahulu)) yang sering diliput dalam media massa baik cetak maupun elektronik. Adapun yang diungkapkan oleh media adalah sebagian kecil kasus, akan tetapi masih banyak kasus yang tidak sampai kepada redaksi.



Dengan demikian, hamil diluar nikah atau hamil sebelum terjadinya pernikahan telah menjadi problematika yang membutuhkan pemecahan yang serius, terutama oleh orang tua, guru, tokoh-tokoh masyarakat, apalagi sarjana syari’ah dan para ulama’ yang ditangan merekalah disandarkan tanggung jawab yang sangat besar menyangkut syariat.
Ditinjau dari sudut sosiologis, berdasarkan rasa malu, maka orang tua yang kebetulan putrinya korban hamil diluar nikah berusaha agar cucunya lahir dengan ayah, mereka cenderung tidak ingin apabila cucunya lahir tanpa bapak. Untuk itu mereka berusaha menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki, baik laki-laki itu adalah yang menghamilinya ataupun bukan laki-laki yang menghamilinya. Dengan terjadinya praktek-praktek seperti ini yang terjadi dalam masyarakat, sehingga sangat relevan untuk dibahas kedudukan hukum Islam dalam masalah ini.
Menikahi wanita yang hamil diluar nikah / wanita hamil karena zina bukanlah merupakan masalah yang baru, hal ini pernah terjadi pada masa Rosulullah SAW. Karena itu para ulama’ berdasarkan pemahaman mereka terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadist telah berijtihad untuk menetapkan hukumnya.

A.    Bagaimana Pengertian Zina?
Zina adalah memasukkan khasafah kepada farji atau dalam bahasa kerennya lebih dikenal dengan kata sex, menurut definisi Malikiyah, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukallaf terhadap farji manusia yang bukan halal baginya dengan kesengajaan,[1] sedangkan menurut pengertian Syafii’iyah, zina adalah memasukkan dzakar kedalam farji yang diharamkan karena dzatnya tanpa ada subhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat[2], jadi dari pengertian diatas, pada hakikatnya  zina adalah memasukkan dzakar kedalam farji yang tidak halal baginya dan dalam keadaan yang sadar serta menimbulkan syahwat.
Dari definisi zina yang telah dikemukakan oleh para Ulama’, dapat diketahui bahwa unsur-unsur zina ada dua yaitu 1) persetubuhan yang diharamkan, (الوطء المحرم) dan adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum (تعمد الوطء او القصر الجنائ)[3] . . Persetubuhan yang dapat dianggap sebagai zina adalah persetubuhan dalam farji atau kemaluan. Ukurannya adalah apabila kepala kemaluan (khasyafah) telah masuk dalam farji walupun sedikit. Walupun antara zakar dan farji terdapat penghalang yang tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama. Disamping itu untuk menentukan persetubuhan sebagai zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan pada miliknya sendiri.[4] Apabila persetubuhan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka tidak dianggap sebagai zina yang dikenai hukuman had melainkan hanya tergolong kepada perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman ta’zir walaupun perbuatan tersebut merupakan pendahuluan daripada zina seperti berciuman, berpelukan, bersunyi-sunyi dengan lawan jenis bukan mahrom, tidur bersama dalam satu ranjang, mufakhodzah (memasukkan penis diantara dua paha), memasukkan penis ke dalam mulut (oral sek), sentuhan-sentuhan lembut dan menggairahkan serta merangsang diluar farji.

B.     Anjuran Nikah dan Larangan Zina
Allah ta’ala menciptakan makhluk secara berpasang-pasangan, ada siang ada malam, ada langit ada bumi, begitu juga manusia diciptakan secara berpasangan juga, ada laki-laki dan ada juga perempuan yang mempunyai khoziroh terhadap lawan jenis masing-masing. Oleh karena itu manusia dianjurkan untuk mencari pasanganya dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat. Anjuran untuk menikah dan perintah untuk melaksanakan perkawinan tersebut tertuang dalam surat An-Nisa ayat 3’ 
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Selain perintah ini Rosulullah SAW juga menganjurkan para pemuda yang telah dewasa untuk menikah dengan hadist yang artinya :.
Hai para pemuda! Siapa saja diantara kamu yang sudah mampu menanggung biaya, maka hendaklah ia kawin, karena kawin itu membatasi pandangan dan menjaga kehormatan. Bagi siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya.

Secara implisit, hadist diatas menunjukkan batapa besarnya rahmad perkawinan, karena dapat memelihara seseorang dari perbuatan–perbuatan tercela, dengan perkawinan, nafsu syahwat dapat disaalurkan melalui jalur yang telah ditentukan. Agama Islam juga menunjukkan jalan keluar bagi yang belum mampu untuk menikah, yaitu dengan berpuasa. Karena dengan berpuasa dapat membersihkan jiwa dan mempunyai daya yang kuat untuk manahan nafsu berbuat haram.
Disamping anjuran menikah, Rosulullah melarang umatnya hidup membujang, menghindarkan diri dari perkawinan. Anas bin Malik mengatakan bahwa ada tiga golongan orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi SAW, mereka menanyakan tentang ibadah Nabi SAW. Manakala diberitahukan, seolah-olah mereka saling berkata, maka mereka berkata dimana letaknya ibadah kita kalau dibandingkan dengan ibadah Nabi SAW, sedangkan beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang. Salah seorang diantara mereka berkata : “ saya akan sholat semalam suntuk, seorang lagi berkata : saya akan berpuasa selama-lamanya dan tidak akan berbuka, yang ketiga berkata : saya memutuskan diri dari berhubungan dengan wanita dan tidak akan kawin lagi. “  Maka Nabi SAW  berkata kepada mereka
Kalian mengatakan demikian, demi Allah, sesungguhnya saya lebih takut dan lebih takwa kepada Allah dibanding kalian, tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya mengerjakan sholat, tidur dan kawin. Maka siapa yang berpaling dari sunnahku ini, tidak termasuk dari golonganku.

Berdasarkan perintah menikah dan larangan membujang, para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan hukum nikah. Menurut jumhur, nikah itu sunah dan kadangkala bisa menjadi wajib dan haram. Sedangkan menurut Ahlu Dhohir, termasuk Ibnu Hazm, mengatakan wajib[5]
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan mereka dalam mengartikan perintah ayat dan hadist diatas. Apakah perintah tersebut berarti wajib atau tidak. Demikian juga mengenai kemaslahatan yang terkandung dalam aqod nikah. Pada sebagian orang nikah itu menjadi wajib, karena semua syarat kawin tepenuhi. Pada sebagian orang kawin itu menjadi sunah, haram, atau mubah. Hal ini sesuai dengan berlebih atau berkurangnya masalah,[6] sesuai dengan perbedaan kemampuan orang itu sendiri / individual different.
Pembagian perkawinan menjadi wajib, sunah, mubah dan haram itu disebabkan karena perbedaan keadaan mukallaf yang kepadanya disandarkan hukum taklif,[7] sesuai dengan situasi dan kondisinya. Para ulama’ mazhab telah berijtihad dalam masalah ini.
Tujuan perkawinan tidak hanya terbatas pada hubungan kelamin saja, akan tetapi lebih jauh mencakup tuntunan kehidupan yang penuh rasa kasih sayang sehingga manusia dapat hidup tenang, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Imam Muhammad Abu Zahra’ telah mengungkapkan bahwa perkawinan merupakan dasar pokok dalam rumah tangga. Dengan perkawinan ditetapkam adanya hak dan kewajiban bagi setiap individu, baik suami maupun istri, sehingga terbinalah ketentraman jiwa bukan sekedar dalam hubungan syahwat. Perkawinan merupakan cirri utama pembinaan kehidupan bermasyarakat. Manusia tidak dapat hidup secara individual. Tetapi setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban masing-masing sebagai anggota masyarakat, sehingga terbentuklah persaudaraan kemanusiaan yang penuh rasa kasih sayang yang diikat dengan tali agama[8]. Hal ini senada dengan firman Allah yang artinya :
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram kepadanya dan dijadikan rasa kasih saying dan rahmah diantara kamu. Sesungguhnya pada yang itu sungguh menjadi tanda bagi orang yang berfikir.

Islam membina masyarakat yang damai, tentram dan aman melalui perkawinan, dengan peraturan-peraturan yang rinci baik melalui Al-Quran maupun Al-Sunah, untuk menjaga masyarakat tetap aman dan damai, Islam melarang zina dengan memberikan hukuman kepada pelakunya, karena zina dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia, baik secara individu maupun masyarakat. Allah melarang tegas perbuatan zina dengan firman-Nya :
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesumgguhnya zina itu sesuatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.

Larangan zina tersebut diatas diikuti hukuman bagi para pelakunya sebagaimana termaktub dalam surah Al-Nur ayat 2
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah keduanya seratus kali dera, dan janganlah ada belas kasihan kepada keduanya yang mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka itu disaksikan  oleh sekelompok kaum mukminin.

Islam menganjurkan nikah dan melarang zina untuk menjaga kesejahteraan masyarakat, karena zina merupakan sumber kehancuran.
Menurut dokter ahli penyakit kulit dan kelamin, zina merupakan sumber penularan penyakit sifillis, gonore, dan sejenisnya. Bila seorang lelaki berzina dengan seorang WTS kemudian berhubungan badan dengan istrinya, maka besar kemungkinan istrinya akan tertular penyakit sifillis atau gonore.[9]
Islam sejak dini menberantas penyakit ini dengan tidak menyediakan ladang tempat tumbuh dan berkemnbang, yaitu dengan melarang zina dan menindak pelakunya secara keras. Selama zina dibiarkan hidup dan berkembang, maka penyakit kelamin akan tetap subur dan tak mampu untuk ditanggulangi.

C.    Bagaimana Pendapat Ulama’ Tentang Menikahi Wanita Pezina?
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapi masalah hukum menikahi wanita pezina, perbedaan ini disebabkan berbedanya titik pandang terhadap pemahaman kalimat larangan menikahi wanita pezina sebagaimana tertuang dalam surat Al-Nur :3
Laki-laki yang berzina tidak menikahi kecuali perempuan yang berzina atau perempuan musyrik, dan perempuan pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman.

Menurut Ibnu Rusyd, para ulama’ mempertanyakan apakah larangan tersebut yaitu kata la yankihuha kareana dosa atau haram.[10]
Jumhur ulama’ cenderung mengartikan sebagai dosa, bukan haram. Maka mereka membolehkan menikahinya, berdasarkan hadist[11]
Ada seorang laki-laki bertanya kepada nabi mengenai istrinya yang berzina, nabi menjawab :” talaklah dia. Laki-laki itu mengatakan: saya sangat mencintainya. Nabi menjawab : tak usah engkau ceraikan dia.”

Hadist inilah yang menjadi pegangan jumhur, Nabi mencabut kembali perintahnya kerena laki-laki mengatakan bahwa dia sangat mencintai istrinya. Kebijaksanan Nabi ini sangat dapat dimaklumi apalagi laki-laki itu sangat mencintai istrinya tentu dia akan menjaga istrinya untuk tidak akan berzina lagi.
Menurut Sayid Sabiq, boleh menikahi wanita pezina dengan catatan bahwa mereka harus bertaubat terlebih dahulu.[12] Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah SWT
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar dan tidak berzina. Barang siapa melakukan yang demikian itu, dia akan mendapat dosa. Akan dilipat gandakan azab baginya pada hari kiamat dan ia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan mengerjakan amal sholeh, maka Allah akan menggantikan kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allah lagi maha pengampun lagi maha penyayang.

Dikalangan para sahabat, ada yang berpendapat apabila seseorang telah bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat, meskipun sebelumnya ia seorang pezina, maka boleh dinikahi. Ibnu Abbas pernah ditanya seseorang mengenai wanita pezina yang kemudian bertaubat. “apakah ia boleh dinikahi??” sebelum Ibnu Abbas menjawab, Anas memperingtkan, perempuan yang berzina tidak dikawini kecuali oleh laki-laki yang berzina atau musyrik. Ibnu Abbas mengatakan : ” pertanyaan tadi tidak termasuk apa yang anda katakan, hai Anas. “Ibnu Abbas berkata kepada laki-laki itu : ”nikahilah dia, bila berdosa, saya yang akan bertanggung jawab.”[13]
Yusuf Al-Qordhowi berpendapat, tidak boleh mengawini wanita lacur. Ia mengemukakan peristiwa dimasa Nabi SAW . Murtsad bin Murtsad meminta kepada Nabi SAW untuk mengawini wanita lacur.  Nabi SAW berpaling darinya sehingga turunlah ayat az zani la yankihuha…. Nabi membacakan ayat tersebut kepadanya seraya berkata “ kamu jangan menikahinya.”[14]
Al-Qordhowi selanjutnya mengemukakan alasan bahwa Allah hanya membolehkan mengawini wanita yang baik-bak dari kalangan Islam dan ahli kitab. Dengan demikian yang halal dikawini bagi laki-laki ialah wanita yang baik-baik (muhsonat) sebagaimana surat Al Nisa’ ayat 24.[15] menurut Al-Qordhowi, ayat az zani la yankihuha…disebutkan setelah ayat yang manyatakan hukuman jilid. Menurutnya hukum ini adalah hukum badaniah. Adapun hukum adabiah ( moral ) ialah pengharaman mengawini pezina.[16] 
Pendapat Al-Qordhowi ini sebetulnya sudah amat tegas namun masih memberikan jalan keluarnya, yaitu apabila mereka telah bertaubat maka boleh dinikahi, dan untuk mengetahui kesucian rahimnya maka harus malampaui sekurang-kurangnya satu kali haid.
Dengan demikian penulis cenderung tidak membolehkan menikahi wanita lacur selama dia belum bertaubat. Karena ditinjau dari sudut pandang kesehatan, wanita lacur cukup berbahaya karena dapat menularkan penyakit kelamin. Oleh karena itu tepat sekali pendapat ulama’ yang mengatakan haram menikahi wanita lacur kecuali telah bertaubat.
Untuk masa sekarang, penulis cenderung merekomendasikan untuk menambahkan syarat yaitu ke dokter sebagai upaya penguat apakah wanita itu benar-benar terbebas dari penyakit kelamin, karena walaupun dia sudah lama tidak melacur dan bertaubat, belum tentu dia telah terbebas dari penyakit kelamin.

D.    Bagaimana Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina?
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai wanita yang hamil diluar nikah, apakah mereka dikenakan had atau tidak. sebagian ulama’ berpendapat bahwa dikenakan had, dan sebagian lagi tidak. Yang mengatakan tidak adalah pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i karena kemungkinan wanita itu dipaksa atau laki-laki itu mendatanginya pada waktu wanita itu tidur.[17] Pendapat itu tepat sekali dalam konteks sekarang ini mengingat masa sekarang ini banyak sekali dijual obat-obat penenang atau obat tidur. Hal ini sering kita temukan di media massa baik elektronik maupun cetak. sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa wanita hamil karena zina mempunyai iddah, dan ada yang berpendapat tidak ada iddahnya. Demikian juga mengenai dihargai atau tidaknya sperma zina. Berdasarkan perbedaan ini maka diantara para ulama ada yang berpendapat sah menikahi wanita hamil karena zina dan adapula yang berpendapat tidak sah. Hal ini apabila yang menikahi wanita hamil itu adalah orang lain, bukan pria yang menghamilinya. Adapun kalau pria yang menghamilinya maka sah menikahinya, tetapi anak yang lahir diluar nikah itu tidak dinisbatkan kepadanya.
a. Pernikahan dengan Bukan Pria yang Menghamilinya
Dalam masalah ini ulama’ berbeda pendapat, ada dua pendapat yang berkembang, yang pertama, pendapat yang mengatakan sah nikah dan tidak boleh digauli. Abu Hanifah dan As-Syafi’i berpendapat bahwa wanita hamil diluar nikah tidak ada iddahnya.[18] Menurut mereka wanita yang berzina tidak dikenakan ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh nikah syar’i, karena iddah itu disyri’atkan untuk memelihara keturunan dan menghargai sperma. Dalam hal ini sperma zina tidak dihargai dengan alasan tidak ditetapkanya keturunan anak zina kepada ayahnya, tetapi kepada ibunya. Hal ini berlandaskan kepada hadist Nabi
Anak itu dinasabkan kepada ibunya (pemilik firasy), sedangkan laki-laki pezina itu tidak memiliki apa-apa.

Kalau sperma zina tidak dihargai, maka tidak mencegah aqod nikah wanita yang yang berzina. Ia halal untuk dinikahi dan tidak ada hukum yang menetapkan keharaman menikahi wanita wanita hamil karena zina. Hanya saja tidak boleh menikahi sebelum ia melahirkan.[19]
Dipandang dari segi positifnya, pendapat diatas memang mengandung segi positif yaitu dapat menutup aib seorang wanita. Masyarakat akan mengetahui bahwa anak yang lahir itu mempunyai ayah walaupun nasab anak itu tidak disandarkan kepada ayahnya. Suatu hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah seorang laki-laki mampu tidak menyentuh istrinya padahal mereka telah nyata tinggal serumah?
Pendapat kedua adalah pendapat yang mengatakan tidak sah nikah dan tidak boleh bergaul. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan Ahmad, dimana wanita hamil karena zina wajib iddah dan tidak sah aqod nikahnya, karena tidak halal menikahi wanita hamil sebelum melahirkan.  Ini juga pendapat Abu Yusuf dan Zafar[20]. Mereka menyandarkan alasan mereka kepada hadist Nabi :
Barang siapa beriman kepada allah dan hari akhir maka tidak menyiramkan airnya ketanaman orang lain. (HR. Abu Daud)

Dasar selanjutnya adalah
Perempuan hamil dilarang digauli sampai ia melahirkan. (HR. Abu Daud)
Mereka mengatakan bahwa karena wanita hamil dari hubungan dengan laki-laki lain, maka haram menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita hamil lainya, sebagaimana hamil yang ada nasabnya. Oleh karena tujuan nikah adalah untuk menghalalkan hubungan kelamin, dan apabila tidak boleh hubungan kelamin maka nikah itu tidak ada artinya.[21]
Hadist diatas merupakan hujjah bagi orang yang mengatakan tidak sah nikah dan tidak boleh menggauli. Mereka mewajibkan iddah karena pada dasarnya mereka menginginkan kesucian rahim. Iddah wanita hamil adalah sampai ia melahirkan, dan setelah melahirkan harus ditambah satu syarat lagi yaitu bertaubat
b. Pernikahan dengan Pria yang Menghamilinya
Para ulama sepakat bahwa laki-laki pezina halal bagi wanita pezina.[22] Dengan demikian pernikahan antara pria dan wanita yang menghamilinya sendiri adalah sah. Mereka boleh bersetubuh sebagimana layaknya suami istri. Hal ini juga tidak bertentangan dengan surat Al-Nur ayat 3 karena statusnya adalah sebagai pezina.
Pengarang kitab Muhazzab mengatakan dengan tegas apabila seseorang berzina dengan perempuan, tidak diharamkan mereka menikah sesuai frman Allah surat Al-Nisa’ ayat 24 yang artinya :
……….dan dihalalkan bagimu selain yang demikian.
Demikian juga sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Nabi pernah ditanya oleh seseorang lelaki yang berzina dengan perempuan, lalu kemudian dia ingin menikahinya atau dengan anaknya perempuan yang dizinai. Nabi berkata : “haram itu tidak mengharamkan yang halal, hanya saja yang diharamkan dengan nikah dan tidak diharamkan karena zina ibunya atau anaknya[23]
Ini bukan berarti bahwa seorang yang menghamili wanita kemudian menikahinya maka masalahnya selesai, akan tetapi mereka wajib bertaubat nasuha dengan beristiqfar menyesali dan menjauhkan diri dari dosa, dan keduanya memulai hidup baru yang bersih tanpa dosa.
E.     Bagaimanakah Status Anak Zina?
Diatas telah disebutkan mengenai kebolehan menikahi wanita hamil karena zina dan boleh menggaulinya bila lelaki itu sendiri yang menghamilinya. Persoalanya yang muncul adalah bagaimana status anak yang akan lahir, bagaiman nasabnya?
Pada dasarnya, nasab anak zina disandarkan kepada ibunya[24]sesuai dengan hadist Nabi al waladu lil firasyi (seorang anak adalah milik ibunya). Maka anak itu tidak dinasabkan kepada ayahnya walaupun ayahnya mengakui bahwa anak itu adalah anaknya.[25]
Dr. Wahbah Al-Rakhili mengupas hal ini secara mendalam yaitu dengan menetapkan batas waktu kelahiran anak dihitung sejak terjadinya perkawinan, karena kehamilan seorang itu agaknya sulit diketahui kecuali oleh wanita itu sendiri. Menurutnya apabila bayi itu lahir setelah enam bulan sejak terjadinya aqod nikah, maka bayi itu dinisbatkan kepada ayahnya. Dan apabila lahir kurang dari enam bulan sejak terjadinya aqod maka dinisbatkan kepada ibunya kecuali bila suami mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya dan dan bukan dari hubungan zina. Pengakuan ini menurutnya menetapkan nasab kepada suami berdasarkan aqod nikah yang lalu, karena orang Islam harus berbuat baik dan menutup aib[26]
Dr. Wahbah Al-Rakhili tidak menyebutkan alasan dari penetapan waktu enam bulan. Ia menjadikan pengakuan sang ayah bahwa anak itu adalah anaknya bila lahir kurang dari enam bulan dengan alasan orang Islam harus berbuat baik dengan menutup aib.


[1] Abdul Kadir Audah, At Tasyri’ Al Jinayi Al Islamiyi Juz 2, (Beirut Dar Al Kitab Al Araby,tt)  hal 349
[2] ibid
[3] Abdullah bin Muhammad bin Qudamah, , Al Mughni Juz VIII, (Dar al Manar. 1368 H)  hal. 349
[4] Ahmad Wardi Muslich, , Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Osffset, 2005), hal.8
[5] Mustafa Said Khan, Atsar Al Akhti Af Fi Al-Qowaid Al Ushuliyah Fi Ikhtilaf Al Fuqoha’i, (Kairo,Muassasah Al-Risalah, 1969) hal 568-569
[6] Ibid, hal 19-20
[7] Al-Imam Muhammad Abu Zahro’, Al Akhwal Al Syahshiyah, (Mesir Dar Al Fikr Al Araby, 1957) hal 23-28
[8] Ibid hal 19-20
[9] Mawarli Harahap, Penyakit Menular Seksual,(Jakarta,PT Gramedia, 1984) hal 3
[10] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayah Al Muqtasyid, ( Semarang, Penerbit Semarang,tt) hal 30
[11] Ibid
[12] Sayyid Sabiq, fiqh al sunah, ( Beyrut, Dar Al Fikry, 1404 ) hal 85
[13] Ibid , hal 86
[14] Yusuf Al Qordhowi, Al Halal Wal Haram Fil Islam, ( Bierut, Maktabah Al Islam, 1978 ) hal 181
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibnu Rusyd, op.cit., hal 329
[18] Abdurrahman bin Abdurrahman Syumailah al-ahdal, Al-Inkihat Al-Fasidah (Riyadh,Al-Maktabah Al-Dauliyah,1984) hal 225
[19] Ibid
[20] ibid
[21] Ibid hal 256
[22] Wahbah Al-Rakhili, Al-Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu Juz VII,( Beyrut, Dar Al-Fikry,1985) hal 184
[23] Al Syaikh Al-Imam Al-Zuhdi, Al-Muhazzab II, (Mesir, Isa Al Baby Al Halaby Wa Syurakahu,tt) hal 43

[24] Abdurrahman bin Abdurrahman Syumailah Al-Ahdal, ..op. cit., hal 255
[25] Hasan Kamil Al-Malthawi, Fiqh Mu’amalat ‘Ala Mazhab Imam Malik, (Mesir, Jumhuruiyah Mishr Al-Arabiyah Al-Majlis ‘Ala Li Syuun Al Islamiah Lajnah Al Ta’rif Bi Al Islam, tt) hal 294_
[26] Wahbah Al-Rakhili,, op.cit., hal 148
 
 
Support : Music Live | Timur Belambangan | Blogger Tips
Copyright © 2013. LANGIT BIRU PEMBAHARU - izal_zakaria All Rights Reserved
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger