Permasalahan bayi tabung dan inseminasi buatan
sebetulnya merupakan persoalan lama yang kembali menjadi
persoalan aktual yang
mencuat ke permukaan karena banyaknya keinginan dari beberapa pasangan untuk
memiliki keturunan akan tetapi
karena disebabkan suatu hal tidak bisa mempunyai
keturunan, sedang mereka sangat merindukannya, dan bayi tabung ini adalah salah
satu alternatif yang bisa ditempuh untuk mewujudkan impian mereka tersebut.
Masalah ini pada tahun 1980-an telah banyak
dibicarakan di kalangan umat Islam baik taraf nasional maupun
internasional, seperti Muktamar yang dilaksanakan tahun 1980 oleh Majelis
Tarjih Muhammadiyah yang hasilnya mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor
dan Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di
Amman tahun 1986 yang mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum
dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri
sendiri. Mantan Ketua IDI, dr. Kartono Muhammad menghimbau kepada masyarakat
Indonesia agar dapat memahami dan menerima bayi tabung dengan syarat sel sperma
dan ovumnya berasal dari suami isteri sendiri.
Maka bayi tabung dan inseminasi buatan menjadi haram bilamana sel sperma atau ovum berasal dari donor, bukan dari
pasangan suami isteri. Begitu pula, haram jika hasil pembuahan ditanam bukan
pada rahim isteri tersebut, meskipun disimpan di rahim istri yang lainnya
(misalnya mempunyai istri dua, tiga atau empat). Kemudian, andaikan ada sebuah
keluarga masuk islam dan pernah melakukan inseminasi dengan menitipkan ke rahim
orang lain, bagaimana nasab anak terhadap ibunya. Apakah dinisbahkan kepada
wanita yang mempunyai ovum atau yang mengandung dan melahirkan anak? Oleh karena
itu, kiranya tulisan ini dapat mengulasnya,
PENGERTIAN TENTANG SUROGATE MOTHER
Ibu titipan atau yang dikenal dengan istilah surrogate
mother ialah inseminasi buatan yang dalam bahas inggrisnya dikenal
artifisial insemination yaitu suatu cara atau tehnik untuk memperoleh kehamilan
tanpa melalui persetubuhan (coitus), yang dilakukan dengan cara in vitro
yaitu proses pembuahan diluar tubuh wanita yang mana ovum dan sperma berasal
dari pasangan suami istri, sedangkan kehamilan pada rahim wanita lain.
Kemudian dalam inseminasi terhadap ibu titipan
tersebut banyak ulama yang menyepakati atas keharamannya karena anak dari hasil
ibu titipan tersebut merusak kejelasan jalur nasab, karena dalam Islam rahim
merupakan sesuatu yang sangat terhormat, oleh karenanya tidaklah mudah membuat
mainan rahim ini, artinya perbuatan menitipkan janin kepada orang lain tidaklah
boleh / haram hukumnya. Dan juga merusak hakikat keibuan karena ibu sejati
ialah perempuan yang indung telurnya dibuahi sendiri oleh sang suami dan
kepadanya lah juga ia akan lahir itu bernasab.
Dalam kasus ibu titipan semacam ini terdapat kasus yang
heboh di amerika serikat dengan kasus bayi “m”
yang mana si “m” menyewa sesuai kontrak surrogate mother hanyalah
mengandung dengan imbalan 10.000, USD menurut aturan, setelah ia melahirkan
haruslah menyerahkan si anak (baby “m”) kepada yang menyewa. Namun setelah anak
itu lahir, wanita sewaan itu berubah. Ia tidak tega melepaskan anak yang telah
dikandungnya itu kepada yang menyewa.
KONSEP PENETAPAN NASAB DALAM HUKUM ISLAM
Menurut Wahbah az Zuhayly dalam kitabnya al
Fiqhul Islamiyyu wa Adillatuh, nasab adalah salah satu dari hak anak yang
lima, yakni: nasab, ridha’ (susuan), hadhanah (pemeliharaan), walayah
(perwalian/ perlindungan) dan nafkah. Selanjutnya dijelaskan bahwa
Penetapan nasab anak kepada ibunya didasarkan pada kelahiran (wiladah),
baik berasal dari perkawinan yang sah maupun fasid (tidak terpenuhi syarat dan/
atau rukun), perzinaan maupun wathi (persetubuhan) secara syubhah
(terjadi kekeliruan).
Menurut Yusuf Al-Qardhawi, Kata walidah dalam
bahasa arab (yakni: perempuan yang melahirkan) merupakan ungkapan yang paling
tepat menggambarkan hubungan ibu dan anak. Sedangkan kata walid
(penyerupaan dengan kata walidah ) berarti ayah. Kedua-duannya - ibu dan
ayah – dalam bahasa arab disebut walidain, yaitu dua orang yang
melahirkan. Sebutan alwalidain bersifat generalisasi, karena itu anak
yang lahir disebut “anak ibunya” (waladun laha), sebab ibunya yang
melahirkannya, dan disebut pula “anak ayahnya” (waladun lahu) sebab ibu
itu melahirkannya karena ayahnya. Dengan demikian “melahirkan” adalah soal
penting yang dirasakan oleh para ahli bahasa Arab dan menjadikannya sebagai
poros pengertian makna kata “keibuan”, “keayahan” dan “keanakan”. Allah SWT.
berfirman dalam QS. Al-Mujadalah:2:
" Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara
kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu
ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.
dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan
dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Sedangkan penetapan nasab terhadap ayahnya
disebabkan beberapa hal, yaitu :
1. Melalui akad nikah, baik yang shahih maupun yang
fasid
2. Melalui persetubuhan seorang lelaki dengan
seorang perempuan secara syubhah (keliru);
3. Melalui persetubuhan antara tuan dan budak
perempuan (amah).
Penetapan nasab melalui pernikahan adalah
berdasarkan hadis nabi Muhammad SAW : al-Walad li al-firasy wa li al-‘Ahir
al Hajar. (nasab seorang anak adalah karena melalui akad nikah dan bagi
orang yang berzina adalah tidak ada hubungan dengan anak yang dilahirkan).
Sedangkan, persetubuhan melalui pemilikan budak perempuan dapat dimasukkan ke
dalam “li al firasy”. Dalam hal penetapan nasab model “al firasy” ini tidak dibutuhkan pengakuan atau pembuktian
saksi. Hal ini, karena isteri hanya bersetubuh dengan suami, tidak memasukkan
lelaki lain.
Adapun syarat penetapan nasab melalui
pernikahan sebagai berikut:
1. Adanya kemungkinan isteri hamil dari suaminya
ditandai dua hal, yaitu:
a. Suami tergolong orang yang dapat menghamilkan
isteri, karena dia sudah dewasa (baligh) atau murahiq (berumur dua belas
tahun);
b. Adanya kemungkinan terjadi persetubuhan antara
suami dan isteri setelah akad nikah, baik secara kebiasaan ataupun secara
rasio(akal). Tiga mazhab (selain Hanafiyah) hanya membenarkan kemungkinan
tersebut menurut kebiasaan Sedangkan, Hanafiyah membenarkan kemungkinannya
secara rasio. Hal ini berdasarkan adanya kemungkinan bahwa suami tergolong
orang yang mempunyai karamah, yang dapat mendekatkan sesuatu yang jauh.
Artinya, jarak suami dan isteri jauh, yang secara kebiasaan tidak mungkin
terjadi persetubuhan.
2. Isteri melahirkan anak setelah 6 bulan sejak
akad nikah. Jika dia melahirkan anak kurang dari 6 bulan, maka nasab anak tidak
dapat dihubungkan kepada suaminya sebagai bapak dari anak. Hal ini karena 6
bulan merupakan batas minimal masa janin dalam kandungan ibunya. Dengan
demikian, jika isteri melahirkan anak sebelum 6 bulan, maka hal itu menunjukkan
bahwa kandungan itu terjadi sebelum akad nikah. Artinya, nasab anak tidak boleh
dihubungkan kepada suami, kecuali jika suami mengakui bahwa anak itu adalah
anaknya dan dia tidak menjelaskan bahwa anak itu berasal dari hamil akibat
zina. Dalam hal ini, penetapan nasab anak berdasarkan pengakuan (iqrar),
tidak berdasarkan firasy. Keadaan ini dimungkinkan ketika lelaki
menikahi perempuan secara diam-diam (sirri) sebelum pernikahan secara
terang-terangan atau lelaki menyetubuhi perempuan melalui akad nikah fasid atau
secara syubhah (keliru), yang berakibat hamil sebelum akad nikah secara
terang-terangan. Hal demikian didasarkan bahwa nasab merupakan sesuatu yang
harus berhati-hati dalam penetapannya. Bahkan, ia termasuk sesuatu yang dapat
direkayasa penetapannya selama dapat menutupi kehormatan seorang (‘ird)
dan mendorong manusia kepada jalan yang baik.
Para ulama fiqh telah sepakat bahwa batas
minimal kelahiran adalah enam bulan. Hal ini berdasarkan atas perhitungan bahwa
satu bulan sama dengan 30 hari, yang berarti masa kelahiran adalah 180 hari.
Mereka beristinbat dengan 2 ayat al-Qur’an, yaitu al- Ahqaf: 15 (Mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan). dan al-Baqarah: 23, (Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan).
Ayat 15 al Ahqaf menunjukkan masa kehamilan
dan masa susuan adalah 30 bulan. Sedangkan, ayat 233 al Baqarah menunjukkan
bahwa masa susuan adalah 2 tahun. Dengan menggabungkan pemahaman dua ayat
tersebut dan dikurangi masa susuan, maka tersisa 6 sebagai masa kehamilan. Di samping kedua ayat
tersebut, terdapat satu riwayat yang menyatakan bahwa seorang lelaki menikahi
seorang perempuan, kemudian dia melahirkan pada umur 6 bulan dari kehamilan dan
sahabat Usman bermaksud merajamnya. Lantas Ibnu ‘Abbas berkata: ingat! Bahwa
jika perempuan menggugat kamu untuk kembali kepada al-Qur’an, maka dia akan
mengalahkan kamu, Allah berfirman (al Ahqaf: 15) dan al Baqarah: 233. artinya,
jika masa penyapihan anak telah habis (2 tahun), maka tinggal 6 bulan untuk
masa kehamilan. Dengan dasar itu, akhirnya Usman memegangi dalil al -Qur’an
tersebut dan meniadakan hukuman terhadap perempuan tersebut dan menetapkan
nasab kepada suaminya.
Golongan ja’fariyah berpendapat jika isteri
melahirkan anak dalam perkawinan yang sah dan 6 bulan atau lebih sejak
persetubuhan, maka anak dihubungkan nasabnya kepada suami. Sedangkan, jika ia
melahirkan anak sebelum itu atau lebih dari Sembilan bulan sejak persetubuhan,
maka nasab anak tidak boleh dihubungkan dengan suaminya, kecuali dia
mengakuinya (iqrar) dan tidak mengatakan bahwa anak itu berasal dari zina dan
dia tidak diketahui dustanya. Bahkan, Ja’fariyah secara tegas menyatakan jika
lelaki menikahi perempuan hamil yang telah dizinainya, kemudian melahirkan anak
kurang dari 6 bulan sejak akad nikah, maka anak tidak boleh dihubungkan
nasabnya kepada lelaki tersebut sebagai bapaknya, kecuali jika dia mengakuinya
dan tidak mengatakan bahwa anak itu hasil zina serta dia tidak diketahui
dustanya. Dengan demikian, pengakuan merupakan salah satu cara penetapan nasab,
selain perkawinan yang sah dan yang disamakannya serta pembuktian (bayyinah).
PENETAPAN NASAB ANAK YANG LAHIR DARI IBU
TITIPAN
Berdasarkan penjelasan di atas jelas
bahwasannya inseminasi dari donor ovum/sperma oranglain adalah haram, begitupula
inseminasi pasangan suami-istri yang dititpkan di rahim wanita lain, meskipun
kepada istri yang lainnya (yang berpoligami). Sebagaimana kita ketahui bahwa
inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak
mendatangkan mudharat daripada maslahah. Maslahah yang dibawa inseminasi buatan
ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya,
untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal.
Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar, antara lain berupa:
1. percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga
kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya
dengan kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum
alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan
prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa
perkawinan yang sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi
sumber konflik dalam rumah tanggal.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur
negatifnya daripada anak adopsi.
6. Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih
sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan
bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak,
tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).
Berdasarkan pandangan ini, maka anak
hasil dari inseminasi “Surogate Mother” termasuk anak yang tidak sah,
dan kedudukannya disamakan dengan anak zina. Adapun nasabnya hanya dinisbahkan
kepada yang melahirkan. Pemahaman ini pula berdasarkan pemaparan di atas
bahwasanya istilah “ibu” lebih menekankan kepada “yang melahirkan”.
Akan tetapi pada dasarnya makna “ibu” dalam
islam adalah orang yang mempunyai ovum, mengandung, melahirkan dan menyusui
anak tersebut. Karena dengan kesusahan ini pula kehebatan seorang ibu, sehingga
ada beberapa hadits yang mengagungkan seorang ibu. Kalau ibu hanya sekedar
pemilik ovum dan tidak merasakan bagaimana kepedihan, penderitaan saat
melahirkan, maka tidaklah patut wanita tersebut disebut seorang ibu yang begitu
dimuliakan Allah Swt dan rasul-Nya.
Begitupula kalau kita bandingkan dengan bunyi
pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” . di tambah dengan
penjelasan KHI pasal 99 (b), “anak yang sah adalah hasil pembuahan suami-istri
yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”. Maka tampaknya
memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat
dipandang sebagai anak yang tidak sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan
ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup
dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya
pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan
antara dua orang karena agama melarangnya, dll. lagi pula negara kita tidak
mengizinkan inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak
sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.
Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa ketika
terjadi anak hasil dari ibu titipan maka nasab ibunya dinisbatkan kepada
perempuan yang mempunyai ovum. Pendapat ini berdasarkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menyatakan bahwa ketika ovum dan sperma sudah
menajdi bentuk janin, maka tidak akan mungkin tercampur lagi apabila ada sperma
atau ovum lainnya. Oleh karena
itu, bentuk janin itu memang hasil dari ayah yang mempunyai sperma dan ibu yang
memiliki ovumnya, bukan ibu yang melahirkannya. Adapun kedudukan ibu yang
melahirkannya, untuk saat ini bisa diibaratkan seorang pemberian jasa, dan dia
pun memperoleh hak-hak seperti biaya untuk perawatan bayi dalam kandungan dan
kelelahan yang dirasakan perempuan tersebut saat mengandung, melahirkan dan
memberiaan susu asi. (wallahu ‘alam)