Masyarakat Jawa terkenal dengan keteguhannya mempertahankan dan melestarikan tradisi nenek moyangnya. Setelah Islam masuk, para ulama’ seperti wali songo memodifikasi kebudayaan yang berbau mistik dan tahayyul kepada tradisi yang sesuai dengan norma-norma Islam. Tradisi Jawa mengenai kelahiran seorang anak misalnya, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, bahkan penuh dengan pengkultusan, kemusyrikan dan kemubadziran. Lalu oleh usaha kreatifitas wali songo diubahlah kebiasaan tersebut menjadi sebuah tradisi yang Islami. Di antara kebiasaan yang lazim dilakukan orang Jawa yang telah diakulturasikan dengan tradisi Islam berkenaan dengan kelahiran seorang anak seperti berikut:
1. Adzan dan Iqamah Bagi Bayi Yang Baru Lahir
Adzan dan iqamah adalah kalimat
dakwah yang sempurna, pula yang keberadaannya merupakan salah satu tonggak awal
berdirinya ajaran Islam. Lantunan adzan secara hukum syar’i tidak
hanya dikumandangkan pada saat akan melaksanakan ibadah shalat saja, namun
boleh dilakukan kapan saja, termasuk ketika sang bayi baru lahir dari rahim
ibunya.
Para ulama’ sepakat bahwa sunnah
hukumnya mengumandangkan adzan dan iqamah ketika bayi baru lahir. Kesunnahan
ini dapat diketahui dari sebuah hadits berikut:
Dari Ubaidah r.a. dari ayahnya, ia
berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. mengumandangkan adzan di telinga Husain
bin Ali r.a. ketika Fatimah melahirkannya” (HR. Abu Daud).
Selain hadits di atas, anjuran
disunnahkannya adzan dan iqamah pada sang bayi beralasan bahwa sebelum
mendengarkan ucapan atau suara lain dari luar, alangkah baiknya sang bayi
terlebih dahulu mendengarkan kalimat tauhid untuk mengingatkan janji yang telah
diikrarkan oleh sang bayi ketika berusia 4 bulan di dalam kandungan di hadapan
Allah. Firman Allah:
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
mengeluarkan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka, dan Allah mengambil janji
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku (Allah) ini Tuhan
kalian?” Mereka menjawab, “Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi”
(QS. Al-A’raf: 172)
Selain itu, suara adzan juga
berfaedah untuk mendidik aqidah dan kepercayaan yang benar dan merupakan awal
dari serangkaian proses pendidikan selanjutnya. Hanya dengan aqidah yang benar
sajalah seseorang dapat mengarungi hidup secara sempurna melalui tauhid yang
benar demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Pelaksanaan adzan dan iqamah
dilakukan pada saat sang bayi sudah dibersihkan dari cairan dan kotoran
lainnya. Lantunan adzan dikumandangkan di telinga bayi sebelah kanan, sedangkan
iqamah dilantunkan di telinga bayi sebelah kiri. Hal ini berfungsi agar kedua
telinga sang bayi terbentengi oleh suara kalimat tauhid. Ditambah kalimat “Qad
qaamatis shalah” pada saat iqamah yang mengisyaratkan bahwa terdapat penegasan
tentang penghambaan diri manusia kepada Allah dan sebagai sarana berkomunikasi
antara manusia dengan Allah melalui penegakan shalat.
Dengan demikian, pelantunan adzan
dan iqamah bertujuan tidak lain sebagai sarana doa serta seruan kepada bayi
agar senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah swt.
2. Tahnik dan Brokohan Untuk Bayi
Tahnik artinya suapan pertama dari
makanan yang diberikan pada bayi yang baru lahir. Pada umumnya, makanan yang
akan ditahnik terlebih dahulu dilumat atau dihaluskan, kemudian diberikan
kepada sang bayi sambil menggosok-gosokkannya kelangit-langit mulut. Terkadang
makanan yang akan diberikan juga diberi madu dengan maksud sebagai pelatihan
bagi sang bayi untuk dapat makan, memberikan rangsangan terhadap makanan dan
minuman, dan menjaga kondisi fisik dan kesehatan bayi agar tahan terhadap
serangan penyakit.
Brokohan artinya meminta doa dan
keberkahan. Maksudnya ialah serangkaian acara –mulai dari pelaksanaan adzan dan
iqamah di telinga bayi, memohon doa kepada para ulama dan masyarakat bagi
keselamatan si jabang bayi hingga memberi nama– dalam rangka memperingati
kelahiran bayi dalam wujud selamatan atau kenduri.
Pelaksanaan brokohan sudah menjadi
tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Asia Tenggara
dan sebagian masyarakat muslim Indonesia, sebab asal-usul tradisi ini
sebenarnya meniru kebiasaan yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. 1400
tahun yang lalu. Dalam sebuah hadits disebutkan:
Dari Aisyah r.a. berkata: Asma’
binti Abu Bakar telah keluar sewaktu hijrah. Padahal pada waktu itu ia sedang
berat mengandung bayi Abdullah bin Zubair. Pada saat ia melewati dan sampai di
Quba’, ia melahirkan Abdullah. Setelah lahir, ia keluar menemui
Rasulullah saw. supaya beliau meletakkan sesuatu pada langit-langit mulut
anaknya. Lalu Rasulullah saw. mengambil anak tersebut darinya dan meletakkannya
ke pangkuannya, kemudian beliau meminta buah kurma. Aisyah berkata, “Kami harus
mencarinya terlebih dahulu sebelum diberikan kepada beliau”. Beliau
meludahkannya ke dalam mulut anak tersebut sehingga yang pertama kali masuk ke
perutnya adalah ludahnya Rasulullah saw. Selanjutnya Asma’ berkata, kemudian
Rasulullah saw. mengusap kepala anak tersebut sembari mendoakannya dan
menamainya dengan nama Abdullah. Kemudian apabila anak itu berumur tujuh ata
delapan tahun, ia datang dan berbai’at kepada Rasulullah saw., karena ayahnya,
Zubair, memerintahkannya berbuat demikian. Rasulullah saw. tersenyum ketika
melihat anak itu menghadapnya, kemudian ia berbai’at kepada beliau. (HR.
Muttafaqun ‘Alaih, al-Bayan, hadits no. 1257).
Dalam hadits lain juga diceritakan:
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. isteri
Nabi saw, katanya: Rasulullah saw. selalu diserahkan beberapa orang bayi supaya
didoakan dengan keberkatan serta mentahnik mereka. Sebaik sahaja beliau
diserahkan seorang bayi, bayi tersebut kencing diatas beliau. Beliau meminta
sedikit air kemudian mencurahkannya di atas kencing tersebut tanpa membasuhnya.
(HR. Muttafaqun ‘Alaih, al-Bayan, hadits no. 158).
Jadi tidak benar apabila tradisi ini
disebut-sebut sebagai bid’ah yang dilarang dalam Islam hanya karena sebab tidak
pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sehingga munculnya tradisi ini
–walaupun secara penyebutan istilah berbeda dengan apa yang pernah dilakukan
oleh beliau, tetapi intinya sama saja – tetap bersumber dari sunnah Rasulullah
saw.
3. Ritual Barokahan
Sebagaimana acara “brokohan” di
atas, setiap bayi yang baru lahir kemudian oleh Rasulullah saw. didoakan. Doa
merupakan salah satu komponen paling penting dalam Islam dan sebagai perisai
orang-orang mukmin. Tak terkecuali bagi sang bayi, sangat dianjurkan untuk
didoakan agar ia memperoleh kebaikan dalam beragama Islam dan kebahagiaan di
dunia maupun akhiratnya. isteri Rasulullah saw, Aisyah r.a. menuturkan:
“Setiap bayi yang dihadapkan kepada
Rasulullah saw., maka beliau mendoakannya, menyuapinya dengan kurma yang sudah
dikunyah, dan mendoakannya dengan keberkahan” (HR. Abu Daud).
Pelaksanaan doa dalam acara
barakahan di antaranya: Ayat Kursi 7 kali, Surat Alam Nasyrah 3 kali, Surat
al-Qadr 7 kali, Surat al-Ikhlas 7 kali, Surat al-Falaq, Surat an-Naas dan
Surat al-fatihah masing-masing satu kali, dan dilanjutkan dengan doa:
“Dan sesungguhnya aku memohon kepada-Mu
agar bayi beserta keturunannya terhindar dari godaan syetan yang terkutuk” (QS.
Ali-Imran: 36).
Sedangkan para tetangga dan kerabat
dekat dianjurkan untuk menjenguk saudaranya yang sedang dikaruniai anak. Hal
ini dimaksudkan untuk mendoakan anak tersebut supaya menjadi anak yang shaleh
dan berbakti kepada orang tua.
4. Mengebumikan Ari-Ari
Mengebumikan ari-ari dalam istilah
lain ialah mengubur tali pusar yang sewaktu masih berada di dalam kandungan
ibunya menjadi bagian dari tubuh sang bayi. Dalam tradisi Islam, semua yang
termasuk bagian dari tubuh manusia dianjurkan dikubur atau dikebumikan, seperti
kuku, rambut dan bagian-bagian tubuh yang lain akibat pembunuhan atau kematian
seseorang yang tidak lazim. Termasuk tali pusar (ari-ari), darah dan semua yang
menyertai kelahiran bayi ini tetap disyariatkan untuk dikubur.
Tradisi mengebumikan ari-ari ini
sudah cukup populer dikenal oleh masyarakat Jawa sejak dahulu yang hingga saat
inipun masih tetap dilestarikan. Merujuk pada ketentuan syariat, masyarakat
muslim Jawa meyakini bahwa tradisi seperti ini menjadi suatu hal yang sangat
utama, ari-ari beserta “batir”nya supaya dikebumikan layaknya orang yang sudah
mati. Sebab, mengubur anggota badan atau semua yang termasuk di dalamnya adalah
anjuran yang sangat ditekankan demi menghormati (memuliakan) pemiliknya.
Semua anggota-anggota tubuh manusia,
sebagaimana di atas adalah organ-organ vital ketika sang bayi berada dalam
kehidupan di alam kandungan. Namun atas qudrah dan sunnatullah, di saat sang
bayi berpindah dari alam kandungan menuju alam dunia, organ-organ ini akan
tidak berfungsi dan mengalami kematian dengan sendirinya. Sehingga organ-organ
tersebut ketika masih berada di dalam kandungan ibunya juga memiliki nyawa
selama mendampingi anaknya hingga melahirkan. Maka dari itu, wajar bila
masyarakat memperlakukannya sebagaimana manusia, yakni dengan mengebumikan atau
menguburnya.
Adapun pelaksanaannya ialah seperti
proses pemakaman, namun dalam pengebumian ari-ari ini, ditambah dengan
pemberian kunyit, bunga, dan lainnya. Terkadang ditambah pula dengan pemasangan
lampu, lilin dan dimasukkan ke dalam “takir”. Akan tetapi penambahan ini
dianggap sangat berlebihan dikarenakan tidak adanya kejelasan akan maksud dan
tujuannya secara syar’i, sehingga dipandang haram hukumnya dalam norma agama.
5. Tradisi “Njagong” Bayi dan
Sepasaran
Sebagaimana syukuran dan barakahan
di atas, tradisi “njagong” atau majelis dzikir bagi kelahiran sang bayi juga
ditradisikan oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Para tetangga dan sanak saudara
diundang untuk datang ke tempat orang yang baru melahirkan dalam rangka membaca
doa dan dzikir. Acara ini ditujukan sebagai rasa syukur dan ungkapan
kebahagiaan atas kelahiran si jabang bayi selaku calon generasi penerus bagi
keluarga dan masyarakat sekitar.
Kata “njagong” ini berasal dari
bahasa jawa yang berarti duduk-duduk bercengkerama bersama sambil menikmati
hidangan. Para undangan datang dalam rangka turut berbahagia atas kelahiran
sang buah hati dari orang yang mempunyai hajat. Tuan rumah juga ikut njagongi
(menemani ngobrol) para undangannya sambil makan bersama, yang makanan yang
disuguhkan tersebut dimaksudkan sebagai sedekah.
Dalam pelaksanaan njagong ini, para
undangan beserta tuan rumah diminta untuk membacakan kitab-kitab Maulid Nabi
Muhammad saw, seperti al-Barzanji (berzanjian), shalawat Burdah Syaikh
al-Bushairi (burdahan), dan kitab maulid ad-Diba’i (diba’an), terkadang pula
dibacakan kitab manaqib. Pembacaan beberapa kitab-kitab tersebut dimaksudkan
untuk memohon keberkahan kepada Allah melalui kemuliaan Rasul-Nya sehingga
semua yang dihajatkan mendapat ridha dari Allah swt. Tradisi ini berlangsung
lima hari hingga pada puncak acaranya ialah pada hari kelima, yakni diadakan
tradisi “sepasaran”.
6. Pelaksanaan Aqiqah
Setelah upacara sepasaran
dilangsungkan, kemudian pada hari ketujuh dilanjutkan dengan acara
penyembelihan kambing, mencukur rambut bayi dan memberi nama. Dalam Islam,
kebiasaan ini dikenal dengan sebutan aqiqah. Para tamu dan tetangga diundang untuk
menghadiri acara tersebut dengan maksud yang sama dengan acara sepesaran di
atas, yakni mendoakan agar supaya sang bayi yang akan diaqiqahi menjadi insan
yang senantiasa taat kepada perintah Allah, menjadi anak yang shaleh dan
berbakti kepada orang tuanya serta berguna bagi masyarakat.
Pelaksanaannya pun hampir sama
dengan sepasaran. Dengan melalui pendekatan syariat, para tamu diundang dan
diminta untuk membaca kitab Maulid Nabi Muhammad saw dan kitab manaqib Syekh
Abdul Qadir al-Jailani, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan kenduri,
seperti membaca tahlil dan ditutup dengan doa. Setelah selesai, para undangan
disuguhkan dengan makanan yang menu utamanya ialah berupa daging sembelihan
hewan aqiqah.
7. Menindik Telinga Bagi Anak
Perempuan
Khusus anak perempuan, pada saat
pelaksanaan aqiqah biasanya disertai dengan tradisi melubangi daun telinga yang
nantinya dimaksudkan untuk tempat dipasangnya anting-anting atau tindik.
Tradisi ini memang belum ada pada zaman Rasulullah dengan tidak adanya pernyataan
langsung dari beliau tentang hal ini. Sehingga tradisi menindik telinga anak
perempuan dihukumi boleh (mubah) asal diniatkan untuk tempat perhiasan semata.
Namun untuk anak laki-laki hukumnya makruh, bahkan haram apabila akan
menyerupai wanita.
Tradisi menindik ini sebenarnya
sudah ditradisikan oleh Nabiyullah Ibrahim as. Ceritanya ialah suatu ketika
Nabi Ibrahim diusir oleh keluarganya karena menyebarkan agama Tauhid. Kemudian
dia lari ke utara (ke arah Haran). Di sanapun juga dimusuhi masyarakat sehingga
ia pindah ke Kana’an (Palestina Selatan). Namun karena suatu sebab, ia dan
isterinya pindah kembali ke Mesir. Ternyata disana terdapat seorang Raja yang
justru menginginkan isterinya, yang tak lain bernama Sarah. Kemudian Ibrahim
mencari akal agar istrinya supaya tidak jadi diperistri oleh Raja tersebut,
yaitu dengan cara melubangi daun telinga milik Sarah. Menurut masyarakat Mesir
pada masa lalu, wanita yang diketahui telinganya lubang dikategorikan sebagai
orang yang cacat, yang menandakan bahwa ia adalah seorang budak. Dengan
demikian, sang Raja mengurungkan niatnya untuk memperisteri Sarah.
Setelah tidak jadi memperistri
Sarah, sang raja malah menghadiahkan seorang wanita dari keturunan Habsyi
kepada Ibrahim. Wanita tersebut tak lain adalah Hajar, ibunda Ismail. Beberapa
saat kemudian, Sarah kaget dan marah-marah ketika melihat daun telinganya
berlubang. Maka dari itu, Ibrahim menutupi daun telinga istrinya dengan emas
agar ia lebih kelihatan cantik. Nah, dari kisah inilah kemudian berkembang
menjadi budaya masyarakat setempat, tak terkecuali oleh masyarakat Jawa.
Tidak hanya menindik daun telinga
perempuan, khitan bagi anak laki-laki juga merupakan tradisi dari Nabi Ibrahim
as. yang sampai saat ini tetap dilaksanakan. Begitupun budaya memakai sarung, yang
akar sejarahnya juga berasal dari bapaknya Ismail as. Ini. Singkat cerita, saat
Nabi Ibrahim as. berkhitan pada umur 97 tahun, beliau menggunakan kain penutup
yang lebar sejenis sarung. Maka dari itulah, nabi kita tercinta Rasulullah
saw.membiarkan kebiasaan tersebut agar tetap dilestarikan sebagai bentuk
penghormatan terhadap tradisi yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim as. Begitu
pula agama Islam yang sudah dirintis sebelumnya oleh Nabi Ibrahim as. dalam
bingkai agama Tauhid.
Allah swt. berfirman:
Katakanlah: “Benarkah (apa yang
telah difirmankan) Allah?” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukankah
dia termasuk orang-orang yang musyrik. (QS. Ali Imran: 95).
Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): “Ikutilah millah Ibrahim seorang yang hanif”. Dan bukanlah dia
termasuk orang-orang yang musyrik. (QS. An-Nahl: 123).
Demikianlah rincian mengenai tradisi
tentang kelahiran, semoga menjadi wawasan bagi kita selaku umat Islam serta
penerus tradisi para pendahulu kita.
Dikutip: Berbagai sumber