(Percakapan Penghulu dengan calon pengantin Dalam Pemeriksaan Pranikah di KUA)
Penghulu : maaf, akad
nikahnya kapan, jam berapa dan dimana?
Catin : besok hari Sabtu,
23 Maret 2013 jam 15.00 wib di rumah saya pak
Penghulu : apakah tidak
sebaiknya akad nikahnya di balai nikah KUA pada hari kerja serta jam Kerja?
Catin : owh tidak bisa
pak..
Penghulu : mengapa ??
Catin :
menurut penuturan sesepuh desa (mbah dukun), Sang’at-nya harus hari itu dan harus
jam itu pak. apabila tidak sesuai sang’at-nya maka akan ada bala’
Ilustrasi diatas sebagai gambaran
bahwa masyarakat kita memiliki Pakem-pakem tertentu terkait
dengan pelaksanaan pernikahan karena pernikahan merupakan sesuatu yang dianggap sakral oleh masyarakat, sehingga perlu waktu khusus, hari khusus
bahkan tempat khusus yang biasa disebut oleh masyarakat
dengan sang’at dan mereka meyakini apabila sang’at
itu dilanggar maka akan menimbulkan bencana/bala'
Kepercayaan itulah yang menimbulkan
“pemaksaan” terhadap PPN/Penghulu untuk bekerja ekstra diluar hari dan jam
kerja, serta memicu keengganan masyarakat untuk menikah di balai nikah KUA ,
padahal KUA tidak memiliki Mata Anggaran untuk transportasi PPN/Penghulu yang
menghadiri akad nikah di luar balai Nikah KUA, sehingga pihak calon pengantin
harus menyediakan sendiri anggaran transportasi PPN/Penghulu yang menghadiri
akad nikahnya. Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah transport yang
diterima oleh PPN/Penghulu selain yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
berdasarkan PP 51 tahun 2000 jo PP 47 tahun 2004 yang ditetapkan sebesar 30.000
per peristiwa itu termasuk dalam kategori
gratifikasi?
Pengertian gratifikasi merujuk pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:
“Yang
dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik”.
Apabila
dicermati penjelasan pasal 12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi
gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan
kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal
12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna
yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata
gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal
12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum,
melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja.
Gratifikasi
dapat masuk dalam kategori tindak pidana korupsi yakni suap, Untuk mengetahui
kapan gratifikasi menjadi tindak pidana korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal
12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001.
“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, ....”
Berdasarkan rumusan diatas,
maka gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi perbuatan pidana suap
khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah apabila
Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut menerima gratifikasi atau
pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian itu diberikan
berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya.
Sesungguhnya, praktik
gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat tidak dilarang tetapi
perlu diperhatikan adanya sebuah rambu-rambu tambahan yaitu larangan bagi Pegawai
Negeri/Penyelenggara Negara untuk menerima gratifikasi yang dapat dianggap
suap.
Memberikan
hadiyah kepada orang lain adalah perbuatan yang baik dan terpuji, Dalam Islam
pun mengajarkan untuk saling memberi kepada sesama, dalam Al-Quran surat
Al-Lail ayat 5-7 disebutkan “ Adapun orang yang memberikan (hartanya di
jalan Allah) dan bertakwa, Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga)
. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. Bahkan
Rosulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin
Khotob juga pernah menerima hadiyah dari rakyatnya. Dalam sebuah maqolah
disebutkan bahwa يدالعليى خير من يدالسفلى “Tangan diatas
lebih baik daripada tangan dibawah” hal ini mengindikasikan bahwa memberi lebih
baik daripada menerima
Sudah menjadi kebiasaan yang
berkembang di masyarakat kita adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa/pelayanan
yang telah diberikan oleh PPN/penghulu, baik dalam bentuk barang (berkat=jawa)
atau bahkan uang sebagai pengganti transport. Hal ini sebetulnya dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat
mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi
inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu,
berapapun nilai gratifikasi yang diterima seorang Penyelenggara Negara atau
Pegawai Negeri yang dalam hal ini PPN/Penghulu, apabila pemberian itu patut
diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki serta dapat dianggap
suap, maka sebaiknya dihindari.
Namun seyogyanya pemerintah juga
memperhatikan nasib PPN/Penghulu yang melaksanakan akad nikah diluar balai
nikah, khususnya PPN/Penghulu yang berada di wilayah luar jawa atau di wilayah
terpencil dan terisolir di Indonesia seperti yang dituturkan oleh teman penulis
yang berdinas di Luar Jawa yang harus rela naik speedboat 2 kali untuk
menjangkau lokasi dengan biaya Rp.250.00 setiap naik, jadi beliau harus
mengeluarkan biaya sebesar Rp.1.000.000 pulang pergi dengan 4 kali naik
speedboat hanya untuk menghadiri satu akad nikah, dan masih banyak kisah-kisah
tragis PPN/Penghulu yang harus berjibaku dengan sulitnya serta jauhnya medan
yang dihadapi bahkan ada yang harus berjalan kaki sejauh 10 KM karena akses
jalan tidak bisa dilewati kendaraan bermotor.
Sebetulnya permohonan pelaksanaan akad nikah diluar balai nikah
KUA dapat ditolak oleh PPN/Kepala KUA yang memiliki kewenangan berdasarkan PMA
11 tahun 2007 pasal 21 yang menyatakan pada ayat (1)
Akad Nikah dilaksanakan di KUA. Pada ayat (2) Atas
permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat
dilaksanakan di luar KUA
Sesuai dengan aturan
tersebut seharusnya Kepala KUA
selaku PPN mempertimbangkan locus wilayah
kerja yang dihadapi sebelum mengabulkan permohonan akad nikah diluar balai
nikah, namun apakah masyarakat kita benar-benar sudah siap jika pelaksanaan
akad nikah semuanya diwajibkan dibalai nikah KUA?? penulis menilai akan terjadi
gejolak besar di masyarakat apabila pelaksanaan akad nikah diwajibkan dibalai
nikah KUA, mengingat masyarakat kita memiliki cultur budaya serta pakem-pakem
khusus terkait pernikahan.
Pemerintah juga seharusnya
menganggarkan biaya transportasi PPN/Penghulu yang menghadiri akad nikah di
luar balai nikah KUA dengan system dan metoda pembayarannya tertentu,
sebagaimana dalam kaidah ushul :
الأَمْرُ
بِالشّئ الأمْرُ بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Sudah seyogyanya apabila pemerintah memerintahkan sesuatu, maka
juga harus memerintahkan sesuatu yang muncul/timbul dari perintah itu, jadi
apabila pemerintah dalam aturannya masih membuka celah untuk pelaksanaan akad
nikah di luar balai nikah KUA maka pemerintah juga harus mempersiapkan segala
sesuatu yang timbul dari perintah itu yakni transportasi untuk PPN/Penghulu, apabila
tidak, maka sebetulnya pemerintah telah melakukan kedzaliman dengan membebankan
biaya transport kepada PPN/Penghulu yang menghadiri akad nikah atau
membebankannya kepada calon pengantin sehingga sama halnya dengan melegalkan
praktek gratifikasi atau pungli.
Problem tersebut akan dapat diatasi
dengan baik jika pengambil kebijakan mempunyai ide cemerlang yang yang
dituangkan serta diramu dalam regulasi perundangan yang jelas yang dapat
menyejukkan semua pihak, baik Untuk PPN, Penghulu maupun masyarakat.
Secara pribadi penulis menyimpulkan bahwa
adanya uang transport/jasa yang diterima oleh PPN/Penghulu dari masyakat yang
menurut Irjen adalah Liar tersebut adalah kesalahan pengambil kebijakan yang
kurang tegas dalam membuat peraturan perundang undangan, sehingga apabila
pemerintah melalui Peraturan yang dibuat mampu mengakomodir semua pihak maka
tidak akan muncul istilah pungutan liar atau gratifikasi.