Pasca perceraian terjadi, mantan suami ataupun mantan
istri memiliki status baru serta kehidupan baru dan menyandang gelar
janda/duda. Bagi seorang mantan suami yang telah menyandang status Duda dapat
menikah lagi dengan siapapun termasuk mantan istrinya selagi masih dalam masa
iddah sang istri, adapun sang mantan istri yang telah menyandang gelar janda
memiliki masa tunggu atau disebut
dengnan masa iddah dimana dia harus menunggu bersihnya rahim dari mantan
suaminya.
Pada masa itu ia tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada
laki-laki lain untuk menikahinya. ‘Iddah ini juga sudah dikenal sejak pada masa
jahiliyah.
Setelah
datangnya Islam, ‘iddah tetap diakui sebagai salah satu dari ajaran syari‘at
karena banyak mengandung manfaat. Para ulama telah bersepakat mewajibkan iddah
yang didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:
Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama
tiga masa quru’. (Al—Baqarah: 228)
Menjadi
perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ tentang penafsiran quru`,
yang akhirnya muncul dua pendapat yang
keduanya rojih. Pertama, Quru’ diartikan masa suci dari haidh. Kedua, Quru’
dimaknai dengan masa haid sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW
“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali masa haid. “(HR Ibnu Majah)
Demikian
pula sabda beliau yang lain:
“Dia (istri) menunggu selama hari-hari quru’nya. “(HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Selain itu,
Iddah juga berlaku bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya sebagaimana
firman Allah SWT “Orang-orang
yang meninggal dunia di antara kalian dengan mening galkan isteri-isteri, maka
hendaklah para isteri itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) empat bulan sepuluh
hari.“(Al-Baqarah:
234)
Allah SWT mensyariatkan sesuatu pasti menyimpan
sebuah tujuan yang besar yang disebut dengan Maqosidus Syari’,
demikian pula Allah SWT Mensyariatkan wanita untuk beriddah dengan tujuan Memberikan kesempatan kepada suami
isteri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangganya apabila keduanya masih
melihat adanya kebaikan di dalam masing-masing keduanya, selain itu juga Untuk
mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada isteri yang telah diceraikan,
sehingga menjadi jelas nasab bayi tersebut. Disamping itu pula Agar isteri yang
diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan
juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami, Hal ini jika iddah
tersebut di karenakan oleh kematian suami.
Dengan demikian, Iddah berlaku wajib bagi setiap
wanita yang diceraikan suaminya baik cerai hidup atau pun cerai Mati.
Para ulama’ mengklasifikasikan Iddah dengan berbagai
macam pembagian ditinjau dari berbagai sudut pandang masing-masing, penulis
menyimpulkan ditinjau dari sudut pandang keadaan istri saat terjadinya
perceraian baik cerai hidup ataupun cerai mati menjadi 4 pembagian yakni pertama, iddah
hamil, kedua iddah cerai dalam
keadaan suci/haid tidak hamil, ketiga iddah mati, dan yang keempat
iddah manapouse yang setiap masing-masing pembagian memiliki model dan cara
penghitungan yang berbeda.
Pertama,
Iddah hamil. Ulama tidak berbeda pendapat dalam hal iddah hamil ini yakni bagi
wanita yang ditingal mati atau
diceraikan suaminya dalam keadaan hamil, maka dia wajib beriddah sampai
lahirnya anak, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat 4 :
Artinya : dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 ayat 2 point (c) menyebutkan “Apabila
perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”;
Iddah
hamil ini berlaku hanya bagi wanita yang saat diceraikan atau ditinggal mati
suaminya dalam keadaan sedang mengandung, tidak berlaku bagi wanita yang diceraikan
suaminya atau ditinggal mati suaminya dalam keadaan suci kemudian hamil.
Kedua, Iddah cerai dalam keadaan suci/haid tidak
hamil maka seorang wanita wajib beriddah selama 3 Quru’ yakni 3 kali
suci atau 3 kali haid, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al- Baqoroh ayat
228
Artinya : Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Para Mufassirin dan Ulama ahli
fiqih bersepakat dalam makna Quru' dapat diartikan suci atau haidh. Jadi
apabila seorang wanita diceraikan oleh suaminya dalam keadaan suci, maka wanita
tersebut dapat menikah lagi dengan orang lain apabila telah menyempurnakan 3
kali suci dan menemukan haid ke tiga, demikian pula sebaliknya apabila seorang
wanita diceraikan suaminya dalam keadaan haid maka dia dapat menikah apabila
telah menyempurnakan 3 kali suci dan menemukan haid ke empat, jika digambarkan demikian :
Keadaan Istri saat Talak dalam
keadaan suci
Saat Talak
Suci ke 1
|
Haid
ke 1
|
Suci
ke 2
|
Haid ke
2
|
Suci
ke 3
|
Haid ke
3
Boleh Nikah
|
Atau keadaan Istri saat talak dalam
keadaan haid
Saat Talak
haid
ke 1
|
Suci
ke 1
|
Haid
ke 2
|
Suci
ke 2
|
Haid
ke 3
|
Suci
ke 3
|
Haid
ke 4
Boleh Nikah
|
Hal
ini senada dengan amanat Peraturan perundang-undangan perkawinan Indonesia
yakni Kompilasi Hukum Islam Pasal 153 ayat 2 point (b) yang menyatakan “Apabila
perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid
ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”
Pasal 153 ayat 2 point (b)
Kompilasi Hukum Islam diatas memberikan dua syarat mutlak yang harus dipenuhi
oleh seorang janda cerai, syarat yang pertama syarat Syar’i yang wajib
dipenuhi yakni tiga kali suci dengan teks “Tiga kali Suci” dan syarat yang
kedua, syarat Administratif yakni sekurang-kurangnya 90 hari dalam
redaksi “dengan sekurang-kurangnya 90 hari”, sehingga jika kita memahami
pasal 153 ayat 2 point (b) secara menyeluruh dan komprehensif, maka tidak serta
merta menghitung masa iddah wanita yang diceraikan suaminya hanya berpatokan
kepada “dengan sekurang-kurangnya 90 hari” karena syarat utama dan
pertama dalam beriddah adalah 3 Quru’ (3 kali suci) sebagaimana Firman
Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 228.
Jika terjadi demikian (hanya
menggunakan ketentuan 90 hari masa iddah bagi wanita yang diceraikan suamainya),
maka kita telah mengesampingkan syarat Syar’i yakni Al-Quran dan Al-Hadist dan
mencuplik sepotong dari pasal 153 ayat 2 point (b) tanpa memahami pasal
tersebut secara menyeluruh.
Mungkin terjadi pada seorang janda
telah menyempurnakan 3 Quru’ / 3 kali suci akan tetapi belum lah genap
90 hari dan bisa jadi sebaliknya telah melewati batas 90 hari tetapi belum
menyempurnakan 3 Quru’/ 3 kali suci, oleh sebab itu sebagai PPN/Penghulu
hendaknya memperhatikan hal ini agar tidak terjerumus lebih jauh dalam
kekeliruan
Sebagai PPN/Penghulu wajib mengedepankan
syarat 3 Quru’ (3 kali suci) sebagai syarat mutlak yang tidak bisa
ditawar lagi karena merupakan hukum Qot’i (Qoth’i Dilalah) dan 90 hari
sebagai syarat administratif pencatatan nikah.
Ketiga,
Iddah mati yang berlaku bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam
keadaan tidak hamil. Adapun kewajiban iddahnya selama 4 bulan 10 hari
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 234
Artinya : Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Ayat
ini menjadi dasar rujukan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 153 ayat 2 point (a) dalam menetapkan iddah mati dengan
teks yang menyatakan “Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun
qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari”:
Keempat,
Iddah Manopouse berlaku bagi wanita yang belum berdatang bulan atau wanita tua
yang telah selesai masa suburnya sehingga tidak berhaid lagi. Maka masa iddah
yang berlaku baginya selama 3 bulan
merujuk kepada firman Allah SWT surat At Tholaq ayat 4
Artinya : Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid.
Wallahu ‘alam