Selamat Datang di Blog Langit Biru Pembaharu, semoga Kunjungan Anda Bermanfaat

MASA IDDAH, SEBUAH TUNTUTAN SYARIAT

Pernikahan yang merupakan ikatan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warohmah bahagia lahir batin dunia dan akhirat, hubungan yang dibangun antara seorang laki-laki dan perempuan itu menginginkan agar ikatan yang telah dibangun langgeng dan hanya maut yang mampu memisahkan, akan tetapi pada kenyataanya badai cobaan dan ombak besar sering menerpa bahtera rumah tangga sehingga bahtera rumah tangga yang telah dibangun terhempas oleh ombak tersebut hingga mengakibatkan keretakan dalam rumah tangga dan bahkan berujung  mengakibatkan perceraian.
Pasca perceraian terjadi, mantan suami ataupun mantan istri memiliki status baru serta kehidupan baru dan menyandang gelar janda/duda. Bagi seorang mantan suami yang telah menyandang status Duda dapat menikah lagi dengan siapapun termasuk mantan istrinya selagi masih dalam masa iddah sang istri, adapun sang mantan istri yang telah menyandang gelar janda memiliki  masa tunggu atau disebut dengnan masa iddah dimana dia harus menunggu bersihnya rahim dari mantan suaminya. Pada masa itu ia tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya. ‘Iddah ini juga sudah dikenal sejak pada masa jahiliyah.
Setelah datangnya Islam, ‘iddah tetap diakui sebagai salah satu dari ajaran syari‘at karena banyak mengandung manfaat. Para ulama telah bersepakat mewajibkan iddah yang didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:
Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’. (Al—Baqarah: 228)
Menjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ tentang penafsiran quru`, yang akhirnya muncul  dua pendapat yang keduanya rojih. Pertama, Quru’ diartikan masa suci dari haidh. Kedua, Quru’ dimaknai dengan masa haid sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW
“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali masa haid. “(HR Ibnu Majah)
Demikian pula sabda beliau yang lain:
“Dia (istri) menunggu selama hari-hari quru’nya. “(HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Selain itu, Iddah juga berlaku bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya sebagaimana firman Allah SWT “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan mening galkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.“(Al-Baqarah: 234)
Allah SWT mensyariatkan sesuatu pasti menyimpan sebuah tujuan yang besar yang disebut dengan Maqosidus Syari’, demikian pula Allah SWT Mensyariatkan wanita untuk beriddah dengan tujuan Memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangganya apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam masing-masing keduanya, selain itu juga Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada isteri yang telah diceraikan, sehingga menjadi jelas nasab bayi tersebut. Disamping itu pula Agar isteri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami, Hal ini jika iddah tersebut di karenakan oleh kematian suami.
Dengan demikian, Iddah berlaku wajib bagi setiap wanita yang diceraikan suaminya baik cerai hidup atau pun cerai Mati.
Para ulama’ mengklasifikasikan Iddah dengan berbagai macam pembagian ditinjau dari berbagai sudut pandang masing-masing, penulis menyimpulkan ditinjau dari sudut pandang keadaan istri saat terjadinya perceraian baik cerai hidup ataupun cerai mati menjadi  4 pembagian yakni pertama, iddah hamil, kedua  iddah cerai dalam keadaan suci/haid tidak hamil, ketiga iddah mati, dan yang keempat iddah manapouse yang setiap masing-masing pembagian memiliki model dan cara penghitungan yang berbeda.
Pertama, Iddah hamil. Ulama tidak berbeda pendapat dalam hal iddah hamil ini yakni bagi wanita  yang ditingal mati atau diceraikan suaminya dalam keadaan hamil, maka dia wajib beriddah sampai lahirnya anak, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat 4 :
Artinya : dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 ayat 2 point (c) menyebutkan “Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”;
Iddah hamil ini berlaku hanya bagi wanita yang saat diceraikan atau ditinggal mati suaminya dalam keadaan sedang mengandung, tidak berlaku bagi wanita yang diceraikan suaminya atau ditinggal mati suaminya dalam keadaan suci kemudian hamil.
Kedua,  Iddah cerai dalam keadaan suci/haid tidak hamil maka seorang wanita wajib beriddah selama 3 Quru’ yakni 3 kali suci atau 3 kali haid, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al- Baqoroh ayat 228
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Para Mufassirin dan Ulama ahli fiqih bersepakat dalam makna Quru' dapat diartikan suci atau haidh. Jadi apabila seorang wanita diceraikan oleh suaminya dalam keadaan suci, maka wanita tersebut dapat menikah lagi dengan orang lain apabila telah menyempurnakan 3 kali suci dan menemukan haid ke tiga, demikian pula sebaliknya apabila seorang wanita diceraikan suaminya dalam keadaan haid maka dia dapat menikah apabila telah menyempurnakan 3 kali suci dan menemukan haid ke empat,  jika digambarkan demikian :
Keadaan Istri saat Talak dalam keadaan suci
Saat Talak
 Suci ke 1
Haid ke 1
Suci ke 2
Haid ke 2
Suci ke 3
Haid ke 3
Boleh Nikah
Atau keadaan Istri saat talak dalam keadaan haid
Saat Talak
haid ke 1
Suci ke 1
Haid ke 2
Suci ke 2
Haid ke 3
Suci ke 3
Haid ke 4 Boleh Nikah

Hal ini senada dengan amanat Peraturan perundang-undangan perkawinan Indonesia yakni Kompilasi Hukum Islam Pasal 153 ayat 2 point (b) yang menyatakan “Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”
Pasal 153 ayat 2 point (b) Kompilasi Hukum Islam diatas memberikan dua syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang janda cerai, syarat yang pertama syarat Syar’i yang wajib dipenuhi yakni tiga kali suci dengan teks “Tiga kali Suci” dan syarat yang kedua, syarat Administratif yakni sekurang-kurangnya 90 hari dalam redaksi “dengan sekurang-kurangnya 90 hari”, sehingga jika kita memahami pasal 153 ayat 2 point (b) secara menyeluruh dan komprehensif, maka tidak serta merta menghitung masa iddah wanita yang diceraikan suaminya hanya berpatokan kepada “dengan sekurang-kurangnya 90 hari” karena syarat utama dan pertama dalam beriddah adalah 3 Quru’ (3 kali suci) sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 228. 
Jika terjadi demikian (hanya menggunakan ketentuan 90 hari masa iddah bagi wanita yang diceraikan suamainya), maka kita telah mengesampingkan syarat Syar’i yakni Al-Quran dan Al-Hadist dan mencuplik sepotong dari pasal 153 ayat 2 point (b) tanpa memahami pasal tersebut secara menyeluruh.
Mungkin terjadi pada seorang janda telah menyempurnakan 3 Quru’ / 3 kali suci akan tetapi belum lah genap 90 hari dan bisa jadi sebaliknya telah melewati batas 90 hari tetapi belum menyempurnakan 3 Quru’/ 3 kali suci, oleh sebab itu sebagai PPN/Penghulu hendaknya memperhatikan hal ini agar tidak terjerumus lebih jauh dalam kekeliruan
Sebagai PPN/Penghulu wajib mengedepankan syarat 3 Quru’ (3 kali suci) sebagai syarat mutlak yang tidak bisa ditawar lagi karena merupakan hukum Qot’i (Qoth’i Dilalah) dan 90 hari sebagai syarat administratif pencatatan nikah.
Ketiga, Iddah mati yang berlaku bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan tidak hamil. Adapun kewajiban iddahnya selama 4 bulan 10 hari sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 234
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Ayat  ini menjadi dasar rujukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 ayat 2 point (a) dalam menetapkan iddah mati dengan teks yang menyatakan “Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari”:
Keempat, Iddah Manopouse berlaku bagi wanita yang belum berdatang bulan atau wanita tua yang telah selesai masa suburnya sehingga tidak berhaid lagi. Maka masa iddah yang berlaku baginya selama  3 bulan merujuk kepada firman Allah SWT surat At Tholaq ayat 4
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Wallahu ‘alam




 
Support : Music Live | Timur Belambangan | Blogger Tips
Copyright © 2013. LANGIT BIRU PEMBAHARU - izal_zakaria All Rights Reserved
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger